[8] Potong Rambut Lagi?

430 135 7
                                    

"Aku sering berkata bahwa aku ingin menyerah, tetapi pada kenyataannya aku masih bertahan. Jadi, sebenarnya aku yang tidak percaya pada diriku sendiri atau aku sudah menjadi orang yang pasrah akan jalan hidupku?"

—Grizella Rahdian Anggraeni—

•Happy reading•



Griz pulang terlambat sore itu, karena pukul lima lebih lima belas menit Griz baru sampai di rumah, padahal biasanya pukul setengah lima Griz sudah di rumah. Dengan tas sekolah yang masih dia gendong, Griz mendorong pintu rumah, tetapi pintu itu terkunci. Griz memutuskan untuk mengetuknya.

"Assalamu'alaikum Arghi. Kakak pulang!"

Tak ada sahutan dari dalam rumah. Griz membalik tas dari punggungnya sehingga berada di depan. Gadis itu mencari kunci cadangan yang selalu dia bawa. Ditemukan kunci dengan gantungan buah jeruk berwarna oren di dalam salah satu saku tas sekolahnya. Griz segera membuka pintu, setelah pintu terbuka Griz masuk ke dalam rumah sambil memanggil nama Arghi lagi.

"Arghi?"

Masih tak ada sahutan. Manik mata Griz menyapu ruang tamu, tetapi dia tak menemukan Arghi di sana. Griz berpindah ke dapur, mengira mungkin Arghi di dapur, tetapi sama saja tak ada siapa pun di dapur. Griz berpindah lagi menuju toilet, didorong pintu toilet itu dan kosong.

Tak menemukan Arghi di lantai bawah, sepasang kaki Griz beranjak ke lantai atas tepatnya menuju kamar Arghi. Tanpa mengetuk pintu Griz langsung masuk. Awalnya Griz berharap Arghi sedang tertidur, namun di dalam kamar yang didominasi oleh warna biru itu dia juga tak menemukan Arghi. Kamar itu kosong dan kasur milik Arghi pun masih tertata rapi.

"Kamu ke mana sih, Ghi?" Terlihat sangat jelas kalau Griz khawatir. Griz heran, ke mana adiknya pergi? Tak biasanya Arghi pergi tanpa mengabarinya. Griz keluar dari kamar Arghi, sedikit berlari menuruni tangga. Gadis itu berhenti di ruang tamu, ditaruh tas sekolah yang sejak tadi masih dia gendong di sofa. Griz mencari ponselnya untuk mencari tahu ke mana Arghi pergi. Ketika benda pintar itu sudah berada di tangannya, ternyata ponselnya mati.

"Ck!" Decakan kesal keluar dari mulut Griz. Griz naik lagi menuju kamarnya untuk mengisi daya. Sampai di kamar Griz langsung mencolokkan charger ke ponselnya dan segera menyalakan benda pintar itu. Beberapa detik menunggu, terlihat ponsel Griz kembali menyala. Jari-jari Griz dengan cepat mencari nomor Arghi. Langsung ditekan ikon call. Tertulis kata berdering, namun tak kunjung terhubung.

Saat Griz memasang wajah serius serta khawatir menunggu Arghi mengangkat teleponnya, indra pendengarannya justru menangkap suara dering ponsel dari dalam kamarnya. Kening Griz mengerut bingung. Ponsel siapa itu? —pikir Griz.

Griz melepaskan charger dari ponselnya dan dengan ponsel yang menempel di samping telinga, Griz beranjak untuk mencari suara dering ponsel yang Griz tak tahu milik siapa itu.

Mata Griz melebar saat dia menemukan sebuah ponsel tergeletak di atas nakas samping tempat tidurnya. Griz mematikan sambungan teleponnya dengan Arghi. Tangan kanannya mengambil ponsel yang berada di atas nakas dan saat dilihat Griz dibuat geram sendiri, karena ternyata itu adalah ponsel milik Arghi.

Griz memutuskan turun kembali ke lantai bawah sambil membawa ponsel miliknya dan ponsel milik Arghi. Griz yang masih mengenakan seragam abu-abu putih itu berniat mencari Arghi ke rumah Galang yang ada di samping rumah. Berpikir mungkin Arghi sedang main ke rumah Galang.

Baru Griz akan menarik gagang pintu rumah, sudah ada yang lebih dulu mendorong pintu itu dari luar. Setelah pintu terbuka sempurna terlihat jelas di retina Griz, anak yang sejak tadi dia khawatirkan berdiri di hadapannya bersama seorang laki-laki yang bukan lain adalah Kanezka.

GRIZELLA (TERBIT)Where stories live. Discover now