Bagian 17, Keputusan Damian

343 77 48
                                    

Sebenarnya ... kita ini apa?
***

Cowok itu melangkah menyusuri koridor dengan santai. Tumben sekali dirinya datang tidak mepet seperti biasa. Mungkin karena suasana hatinya sedang baik. Damian tersenyum cerah melihat keberadaan adik kelasnya yang tampak baru keluar dari ruang guru sembari membawa beberapa buku, di sebelahnya sosok siswa laki-laki tampak sedang mengajaknya bicara dengan buku yang lebih banyak di pelukannya.

Damian merogoh sakunya untuk mengambil jepitan rambut yang kemarin ia beli. Candy pasti akan berhenti mendiamkannya kalau diberikan itu. Tidak menemukan yang dicari, ia berdecak. Seingatnya Damian sudah memasukan ke saku- eh atau belum sih?

Ia kemudian membuka tas, mungkin disimpan di sana. Namun, barang tersebut masih tak ada. Damian mendesah. Bisa-bisa lupa pada benda sepenting itu. Iya, penting seperti kehadiran Candy untuknya, 'kan?

Kalau tidak penting, Damian tidak perlu repot-repot seperti ini.

Akhirnya ia memutuskan untuk tak jadi menyusul Candy dan berbelok ke arah lain. Rencananya pagi ini ia akan menemui Savara. Ia ingin meminta pendapat dari cewek mengenai suatu hal.

Sampai di depan kelas cewek yang katanya sudah seperti saudara seperti Candy, ia melengokan kepala untuk mencari keberadaan cewek itu. Damian melambaikan tangan pada Alicia yang terlebih dahulu melihatnya lalu menyebutkan nama Savara.

Membaca gerakan bibirnya dengan mudah, Alicia menepuk bahu temannya. Savara yang sedang menidurkan kepala menegakan tubuhnya lalu mengarahkan tatapan mengikuti arah yang ditunjuk Alicia. Cewek itu kemudian bangkit untuk menghampirinya.

"Kenapa? Tumben pagi-pagi udah dateng," sindiran tersebut membuatnya meringis. Damian tak menjawab malah menarik lengannya mendekat ke arah kursi kayu depan kelas dan mendorongnya untuk duduk.

"Gue ... mau minta pendapat lo," ucapnya ragu. Damian agak malu juga sebenarnya, tapi ia merasa hanya Savaralah orang yang tepat.

"Apa?" tanya cewek itu singkat.

Damian menggaruk tengkuknya lalu berdehem. "Em ... gini, elo udah denger dari Drian belum tentang ... gue yang lagi deket sama anak sekolah sebelah?"

Savara mengangguk. "Terus?"

Cowok di sebelahnya meringis lalu diam beberapa saat hingga Savara gemas melihatnya. "Apa Dami? Cepatan keburu bel."

"Tapi jangan bilang sama yang lain dulu." Damian memohon. Ia merasa para sahabatnya kurang merespon baik kedekatannya dengan Karin.

"Iya iya," ucap Savara. "Jadi apa?"

"Gini, kemarin gue jalan sama Karin terus pas lagi di toko aksesoris, dia kayak ngasih kode gitu." Akhirnya Damian menceritakan apa yang terjadi kemarin minus masalah jepitan rambut. Savara tampak mendengarkan dengan khidmat tanpa menjeda ucapan sahabatnya.

"Menurut lo Karin beneran ada rasa ke gue gak?"

Pertanyaan cowok itu membuat Savara terdiam. Ia tidak bisa berbohong untuk sesuatu yang sebenarnya kurang dirinya setujui. "Kayaknya iya," jawab Savara pelan. "Tapi, Dam, kalau berpikir buat nembak dia, mending jangan sekarang-sekarang."

"Kenapa?" tanya Damian cepat. Ia melirik ke arah pintu kelasnya yang bersebelahan dengan kelas Savara. Melihat keberadaan Adrian yang sedang memicing curiga. Kebetulan Savara tak mengetahui keberadaan kekasihnya karena duduk membelakangi.

Damian segera mengibaskan tangan, menyuruh masuk. Adrian sendiri hanya berdecak dan memasuki ruangan. Namun, ia yakin setelah ini, sahabatnya akan mengirimkan banyak pesan. Terbukti dengan getaran ponselnya yang beruntun di dalam saku.

SWEET CANDY ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang