Bagian 31, Menyerah dan Bertahan

335 72 48
                                    

Cowok itu menatap layar ponsel yang tergeletak di atas meja. Ia melonggarkan dasinya karena merasa gerah. Kernyitan di dahi tampak muncul membaca beberapa chat dari sang pacar yang sejak kemarin belum ia balas.

Damian menghela napas berat, melirik ke luar jendela kelas saat mendengar tawa teman-temannya yang berkerumun di koridor.

Setelah mempertimbangkan apa yang terjadi, ia memutuskan mengirimi pacarnya chat.

Damian: Rin, pulang sekolah aku jmput

Karina yang mungkin menunggu balasan sejak kemarin langsung membalas, tapi Damian tak berniat membaca karena ia segera menyimpan kembali ponselnya.

"Dam!"

Cowok itu menoleh pada Adrian yang sudah berdiri di dekat kursinya. Ia menaikan sebelah alis.

"Ardan katanya mau ngomong," ucap Adrian lalu berjalan ke arah belakang.

Damian bangkit mengikuti sahabatnya. Di ruangan paling belakang, Ardana sedang duduk menyandar ke dinding sambil berselonjor. Kakinya di jadikan bantal oleh Danish yang tampak anteng bermain ponsel. Mereka duduk di atas karpet Sita yang katanya bekas kegiatan Perjusami dan malas dibawa ke rumah. Makanya menjadi hak milik anak kelas.

Damian menempatkan diri di sebelah kanan Ardana, ikut bersandar, sedangkan Adrian memilih bersila, tatapannya sesekali tertuju pada buku TTS Danish yang hampir seluruhnya berhasil ia isi.

"Mau ngomongin apa?" tanya Damian karena setelah lima menit berlalu mereka malah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sejak pagi Ardana terlihat badmood, tapi ia tak tertarik untuk bertanya di saat perasaannya sama-sama sedang tidak baik.

Terdengar embusan napas kasar dari mulut cowok itu. Ardana menatap ketiga sahabatnya bergantian. "Candy."

Danish menghentikan gerakannya dan mendongak. "Why? Ada apa sama my sweet candy?"

Ardan tampak ragu, tapi seperti tak mempunyai pilihan. Ia berujar dengan nada yang memelan. "Semalem gue liat dia sama cowoknya mau ... kiss."

Mata ketiganya membola. Namun, Damian terlihat lebih syok dari para sahabatnya. Tangan cowok itu bahkan sudah mengepal seperti hendak menonjok sesuatu di hadapannya, rahangnya tampak mengeras. Damian tak menyadari dengan tatapan Adrian yang langsung tertuju padanya.

"Ya ampun! Candy? Lo salah liat kali!" Danish yang sudah mendudukan badan menatap tak menyangka pada sang pemberi berita.

"Kalau gue salah liat? Gak mungkin gue kepikiran sampe sekarang," ucap Ardana frustasi. "Oke, mungkin gue terlalu berlebihan. Mungkin bukan hal aneh bagi dua orang pacaran ngelakuin itu, tapi ... gue semalem refleks narik dia. Gue ngerasa gak rela aja adek gue yang masih polos dirusak sama cowok itu."

Adrian mengangguk, menepuk kakinya mencoba menenangkan.

"Dri, gue salah ya ngelakuin itu?" tanya Ardana yang dibalas gelengan oleh sahabatnya. "Enggak. Kalau gue ada diposisi lo dan orang itu Candy, mungkin gue juga bakal lakuin hal sama. Sejak awal liat cowok itu, gue ngerasa kurang suka, kayak ada yang aneh sama dia."

"Gue juga," timpal Danish.

Mereka kemudian menoleh pada Damian yang tak bersuara sama sekali malah mengedikan bahu dengan bibir terkunci rapat.

"Hh, kayaknya Kak Reran juga mulai khawatir. Semalem dia minta gue buat nasehatin Candy dan awasin dia. Katanya Candy agak bebal sekarang." Reran menceritakan bahwa adiknya kerap pulang telat, bahkan kadang hampir magrib dan selalu beralasan habis kerja kelompok. Kalau malam, Candy memang beberapa kali pergi dengan pacarnya, bisa sampai dua kali dalam seminggu. Beruntungnya sang adik masih mematuhi peraturan untuk tidak pulang melewati jam sembilan, kecuali jika itu pergi bersama Reran atau Ardana. Namun sepertinya, mereka mulai jengah dengan sikap Candy.

SWEET CANDY ✔️Where stories live. Discover now