Bagian 37, Obat Demam

417 81 51
                                    

Cewek itu sedang berusaha menidurkan dirinya saat terdengar langkah yang semakin mendekat. Decitan pintu membuatnya yakin kalau yang memasuki ruangan adalah mamanya karena Reran baru kurang dari satu jam pamit untuk pergi ke kampus.

Selimut yang menutupi wajahnya tersibak, disusul dengan tarikan di lengannya hingga mau tak mau, Candy terkejut dan langsung terduduk.

Matanya membeliak ketika Nesa langsung mengarahkan tangan ke arah wajah lebamnya. Wanita itu mengembuskan napas berat lalu duduk di sebelahnya.

"Sakit?" tanya Nesa berusaha untuk tak memarahi putrinya yang kondisinya belum pulih.

Candy diam, memandangi mamanya. Tak lama kemudian matanya berkaca-kaca. Pertanyaan singkat Nesa berhasil mendobrak pertahanannya. Sebuah isakan lolos dari bibirnya disusul dengan isakan lain.

Nesa tertegun. Saat di rumah sakit tadi, ia sangat marah, tapi Rania dan Susan yang berada di sampingnya berusaha membuatnya tenang. Namun, melihat keadaan putrinya, mendengar tangisannya, hatinya tersayat. Nesa segera memeluk buah hatinya.

Baik dirinya, sang suami dan Reran, mereka tak pernah bersikap kasar pada Candy, semarah apa pun, anak gadisnya akan selalu diperlakukan dengan baik tanpa ada unsur kekerasan. Sekarang, mengetahui apa yang dialami Candy, ia merasa sangat tidak terima.

"Jangan gampang percaya sama orang asing," ucap Nesa menepuk punggungnya. Candy hanya mengangguk dalam pelukan sang mama yang terasa menyenangkan.

"Mama ... gak marah?" tanya Candy dengan suara yang terendam.

Nesa menggeleng. "Lain kali, kalau mau deket sama laki-laki, kasih tau kita dulu, kenalin dia sama kita."

"Iya, Ma." Candy tidak tahu, apakah masih ada sosok yang mau padanya. Nolan bilang wajahnya pas-pasan, ia tidak cantik. Cowok itu bahkan hanya bermain-main dengannya.

"Nanti sore kita periksa ya?" Nesa melonggarkan pelukan, memperhatikan bengkak di pipinya. "Demam kamu juga kayaknya belum turun." Wanita itu menarik laci nakas dan mengambil thermometer. Candy mengangkat ketiaknya, membiarkan sang mama mengukur suhu tubuhnya.

"38,6 derajat," ucap Nesa menyimpan lagi thermometernya. "Kamu istirahat ya, mama mau buat bubur dulu."

Candy mengangguk dan kembali memundurkan badan. Nesa sendiri berjalan ke keluar kamar. Ia tak banyak menanyakan seputar kejadian kemarin karena kondisi putrinya yang masih belum stabil.

Candy hanya tidur sekitar satu jam. Sisanya ia hanya berguling ke sana kemari. Selain merasa lemas, ototnya terasa sakit, terutama pada bagian tangan dan kaki. Candy menarik selimutnya hingga dagu karena merasa kedinginan. Anehnya, ia malah berkeringat. Sesekali cewek itu memijat kepalanya yang teras berdenyut, Rasanya ia ingin menangis saja, tapi Candy berusaha untuk tak memanggil sang mama.

Matanya tetap terpejam meski deritan pintu terdengar. Candy fokus membuat dirinya kembali tertidur, berharap sakit yang ia rasakan akan segera hilang. Aroma bubur semakin tercium seiring dengan langkah kaki yang mendekat.

"Ma," lirihnya manja. "Kepala sama badannya sakit semua."

Tak ada jawaban. Namun, Candy dapat merasakan sentuhan di dahinya berganti dengan usapan kecil. Cewek itu mengernyit, tangan besar tersebut jelas bukan milik Nesa. Mungkinkah papanya atau Re- Candy membeliak mengetahui siapa yang duduk di sisi ranjang. Ia segera duduk lalu meringis merasakan kepalanya yang beputar.

"Pelan-pelan!"

Teguran tersebut ia abaikan. Candy malah memperhatikan sosok yang kini memberikan pijatan kecil di kepalanya. Tatapannya tertuju pada bekas luka di wajah cowok itu. Seketika matanya memanas.

SWEET CANDY ✔️Where stories live. Discover now