BAB DUA

11.6K 907 3
                                    

"Pagi ...," sapa seorang wanita cantik, tersenyum menyapa anak beserta suaminya yang sudah berkumpul di ruang makan untuk sarapan bersama.

Menyadari suara familier yang sudah lama tak mereka dengar itu, membuat perhatian ketiga bocah laki-laki yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya itu beralih. Seketika ekspresi mereka berubah datar, kecuali untuk Raiden, pemuda itu menunduk, tak ingin— lebih tepatnya tidak berani untuk menatap sosok wanita di kursi roda yang tengah didorong oleh salah satu maid rumahnya.

Jansen berdecih pelan, mengode Jean untuk langsung berangkat saja, ia sudah kehilangan selera makannya hanya karena melihat wajah seperti tanpa dosa wanita itu.

"Dera? Kamu masih belum sehat, kenapa ke sini? Harusnya kalian saja yang antar sarapan ke kamar," ujar Jayden, beralih menatap beberapa maid yang tengah menyiapkan sarapan untuk mereka.

"Tidak apa-apa, Jay, aku hanya ingin melihat—"

"Kita berangkat duluan, Dad, buru-buru, nanti sarapan di sekolah aja," pamit Jansen memotong perkataan Dera, meraih ranselnya dan bangkit dari tempat duduk diikuti oleh Jean, sedang Raiden menatap bingung kedua kakak kembarnya itu.

"Kenapa buru-buru? Ini masih pagi, kalian berangkat tanpa Raiden?" tanya Jayden, menatap Jansen dan Jean bergantian.

Kedua pemuda itu lantas menatap adik kecilnya. "Ayo berangkat," ajak Jean.

Mengerjap pelan, Raiden melirik pada Dera sebentar, sebelum akhirnya mengangguk dan ikut bangkit.

"Nggak mau bawa bekal aja? Biar bisa dimakan di sekolah—" Lagi-lagi ucapan Dera terpotong ketika Jansen lebih dulu menyela.

"Nggak usah," sela Jansen, tanpa menatap sang empu, ia melangkah lebih dulu meninggalkan ruang makan, diikuti oleh Jean dan Raiden di belakangnya.

Melihat hal itu, Dera hanya bisa menatap kepergian tiga putranya dengan penuh kebingungan. Apa ada yang salah dengan perkataannya? Anak itu terlihat ketus dan tak suka dengan kehadirannya.

"Mungkin mereka ada piket, sarapan dengan saya saja ya?" ujar Jayden mencairkan suasana, membuat Dera yang tadinya memperhatikan tiga pemuda yang barusaja pergi itu menoleh ke arah suaminya.

Tersenyum kecil wanita itu mengangguk. Toh mau sarapan dengan siapa juga sama saja. Seusai dengan kegiatan sarapan mereka, Dera mengantarkan Jayden ke teras depan untuk berangkat bekerja.

"Kalau ada apa-apa, jangan lupa telepon saya, oke?" ujar Jayden mengingatkan Dera.

Wanita itu tersenyum dan mengangguk. Lantas mengulurkan tangan kanannya. "Bantu aku berdiri," pintanya.

Tanpa bertanya, Jayden membantu Dera untuk bangkit dari duduknya. Pria itu terkejut ketika tiba-tiba sebuah benda kenyal mendarat di pipi kanannya. "Semangat bekerja, ya," ujar Dera, dibubuhi oleh senyuman.

Membuat Jayden membeku di tempat, sebelum akhirnya tersadar dan balas tersenyum, sedikit kikuk. Padahal hanya terjadi beberapa detik saja, tapi momen itu berhasil melekat di benak, ia sangat masih belum terbiasa dengan hal ini.

Karena dulu, Dera sangat anti dengan skinship, wanita itu selalu menolak dan marah ketika Jayden memberikan kecupan di keningnya, atau sekedar menggenggam tangannya.

Maka Jayden sendiri bingung, kenapa bisa ia dulu menikahi wanita seperti ini, bahkan disentuh saja ia tidak pernah mau. Sedang sekarang? Tanpa diminta pun Dera mau memulainya lebih dulu.

"Saya berangkat dulu," pamit Jayden, melempar senyum pada Dera.

Wanita itu melambaikan tangannya begitu mobil milik Jayden melesat keluar melewati gerbang rumah. Meringis kecil, Dera kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kursi roda. Untuk berdiri sebentar saja kakinya masih terasa sakit, sepertinya ia memang perlu berlatih berjalan lebih sering lagi.

AffectionWhere stories live. Discover now