BAB ENAM BELAS

8.9K 745 11
                                    

"Wisnu." Suara berat itu mengudara membuat kalimat mengalun sedari sepuluh menit yang lalu terhenti tiba-tiba lantaran dipotong.

Menoleh dengan ekspresi bertanya, sang empu pemilik nama Wisnu itu menyahut, "Iya, Pak?"

"Menurut kamu, apa penyebab orang yang tiba-tiba ketakutan dan menangis saat mati lampu selain karena takut gelap?" tanya sang atasan yang tak lain adalah Jayden, pria itu tak bisa fokus sedari tadi karena masih kepikiran tentang apa yang terjadi semalam. Jayden merasa jika ada yang janggal, namun berusaha disembunyikan rapat oleh ketiga putranya.

Bahkan sepanjang Anyer-Panarukan Wisnu— sekretarisnya membaca dan menjelaskan catatannya tak ada satupun kalimat yang berhasil masuk ke dalam telinga Jayden, karena pria itu sibuk sendiri dengan pikirannya.

Mendengar apa yang ditanyakan oleh sang atasan, Wisnu sempat bingung sesaat karena tak biasanya Jayden menanyakan hal seperti ini terlebih ketika masih di kantor dan jam kerja, pasti ada sesuatu yang sangat mengganggu pikiran pria itu saat ini.

Berdehem singkat, Wisnu membalik kembali lembaran-lembaran yang berada di papan dadanya. "Saya tidak terlalu mengerti, tapi jika sampai takut berlebihan dan menangis, mungkin bisa saja orang itu memiliki phobia gelap atau semacam ... pernah mengalami kejadian traumatis di tempat gelap?" jawab Wisnu sebisa yang ia ketahui, membuat Jayden menoleh kilat padanya dengan ekspresi terkejut.

"Kejadian traumatis di tempat gelap?" beo Jayden, dengan glabela berkerut, ia menumpu sikunya di atas meja.

Wisnu mengangguk. "Karena saya bukan pakar psikologi jadi saya tak terlalu paham, jika ingin tahu lebih lanjut, saya bisa menghubungi ahlinya untuk Bapak."

Jayden terdiam cukup lama, banyak sekali hipotesis dan prasangka yang muncul di kepalanya, apakah yang terjadi pada Raiden semalam ada hubungannya dengan kejadian masa lalu?

Dengan rahang mengeras, Jayden bangkit dari kursinya secara tak santai, lalu melangkah cepat keluar dari ruangan, membuat Wisnu sampai terheran-heran melihatnya. Pria itu tersentak pelan tatkala teringat jika dua puluh menit lagi ada rapat dengan para Dewan Direksi.

Berlari cepat menyusul Jayden, Wisnu berteriak sebelum Jayden benar-benar menghilang di balik pintu lift.

"Pak, tunggu dulu! Dua puluh menit lagi ada rapat dengan para anggota Dewan!"

"Batalkan!" seru Jayden bersama dengan pintu lift yang tertutup, membuat Wisnu berkedip dua kali, lalu mengerang dan menggaruk rambutnya yang tak gatal. Tamatlah, setelah ini ia pasti menjadi tumbal hujatan para anggota Dewan.

Sekarang, di sinilah Jayden berada, di depan sebuah gundukan tanah yang tertutup rumput hijau, berpatok batu nisan yang berisi ukiran nama serta tempat, tanggal lahir dan tanggal kematian itu.

Membuang napas pelan, Jayden meletakkan buket bunga tulip putih cantik yang ia bawa, di dekat batu nisan. Kepingan-kepingan memori serta sisa perasaan yang masih sama adanya seolah mengiris hati Jayden dengan perlahan. Diusapnya batu nisan itu dengan pelan, menahan gemuruh perasaan yang siap untuk meruntuhkan dirinya saat itu juga.

"Saya sering bertanya-tanya, tentang seperti apa hidup saya jika tanpa kamu di dalamnya, dan ya ... dengan perlahan semesta memberi saya jawaban. Tanpa kamu, saya memanglah bukan apa-apa, juga bukan siapa-siapa," ucap Jayden, setia memusatkan pandangannya pada batu nisan yang mengukir nama sang istri- atau lebih tepatnya sang mantan istri.

Tak ada unsur gugatan, namun mautlah yang memisahkan.

"Pada akhirnya, sekeras apapun mencoba, saya tak akan pernah bisa menggantikan peran kamu sebagai seorang ibu, jangankan untuk menggantikan, saya sendiri saja gagal menjadi seorang ayah."

AffectionDove le storie prendono vita. Scoprilo ora