BAB TIGA PULUH DELAPAN

11.3K 743 12
                                    

Lantaran merasa bosan terus berada di apartemen, Dera memutuskan untuk pergi keluar, untuk menghirup udara segar sekaligus jalan-jalan bersama lalu lalang para pejalan kaki yang lain. Kebetulan ia juga sedang menginginkan pastry yang dijual kedai bakery & pastry yang terletak tak jauh dari apartemennya berada.

Seusai mendapat apa yang ia inginkan, Dera kembali berjalan hendak menuju apartemen yang ia tinggali bersama Jessy, namun saat memperhatikan keramaian dimana para manusia tengah berhenti di pinggir zebra cross menunggu giliran untuk menyebrang, Dera terkejut ketika tak sengaja melihat siluet seseorang yang familier.

Begitu lampu lalu lintas menunjukkan waktunya pejalan kaki untuk menyebrang, Dera menggerakkan bola matanya, menelusur lautan manusia itu bersama tungkainya yang melangkah. Jantung wanita itu bertalu-talu, matanya terus menelisik sekitar, mencari seseorang yang perawakannya sangat ia kenali.

Namun begitu tersadar, Dera menghentikan langkahnya dan mematung di tempat. Untuk apa ia mengejarnya?

Itu hanya siluet yang tak sengaja ia lihat, dan mungkin saja kebetulan memang sangat mirip. Lantas untuk apa Dera mengejarnya? Kenapa tungkainya bisa berjalan hingga ke sini?

Menelan ludahnya, Dera menunduk dan menggeleng. Dia tidak seharusnya melakukan hal ini. Rindu memang benalu yang terkadang tidak tahu diri dengan menciptakan halusinasi. Dera pasti salah lihat. Lagipula, tidak mungkin pria itu ada di sini. Untuk apa ia ke New York?

Mengambil napas dalam, Dera kembali mengontrol perasaannya, tanpa menyadari jika eksistensinya sedari tadi menjadi pusat atensi dari seorang pria bertubuh tinggi dengan sorot mata yang penuh arti.

Hatinya bilang; temui, namun otaknya berkata; jangan, belum saatnya.

Tak berarti, karena kakinya seolah berjalan sendiri, melepaskan kendali otak dalam perintahnya, tungkai itu terus berjalan, bersama dengan rasa rindu yang kian tak beraturan.

Hingga bibirnya terbuka, mengeluarkan suara yang membuat langkah kaki di depannya terhenti seketika.

"Dera," panggilnya.

Sang pemilik nama mematung di tempat. Perasaan yang tadinya berusaha ia kendalikan kini kembali berantakan, seolah mengirimkan sinyal pada otak hingga tanpa izin satu tetes air mata meleleh melewati pipinya.

Lalu lalang orang seakan menjadi latar belakang dramatis ketika salah satu dari mereka berbalik lalu keduanya sama-sama bersitatap iris, membiarkan rindu yang menggebu untuk perlahan terkikis.

Kedua insan itu terdiam, larut bertatap dalam-dalam. Hingga akhirnya jarak mereka menipis ketika sang pria mendekat, memberi pelukan erat, bersama ledakan debar-debar manis di pinggir jalanan kota yang cuacanya hangat tanpa hujan maupun gerimis.

Si puan yang mendapat pelukan tanpa aba-aba itu masih bergeming, otak serta tubuhnya seolah membeku bersama darah yang berdesir dan detak jantung yang bertalu-talu, tatapan wanita itu berubah sendu.

"Maaf, maaf karena sudah tidak tahu malu, laki-laki pecundang ini merindukan kamu," lirih Jayden di samping telinga Dera, bibir pria itu bergetar, dekapannya semakin mengerat.

Buliran air mata kembali berjatuhan. Tak dapat membohongi dirinya sendiri, Dera juga rindu. Menggigit bibirnya, Dera menunduk hingga dapat merasakan detak jantung Jayden yang sama sepertinya. Pria itu juga berdebar.

Cukup lama mereka berpelukan, sebelum akhirnya Jayden kembali membuat jarak, menatap lekat kedua manik sang istri. Demi Tuhan, ia sangat rindu sampai rasanya hampir gila.

Mengulurkan tangannya, Jayden mengusap lembut pipi Dera, menyeka air mata yang membasahi di sana. Sedang Dera hanya diam, tak menolak perlakuan yang Jayden berikan. Egonya menyuruh untuk pergi, namun kakinya enggan melangkah. Bahkan untuk mengucapkan sepatah kata pun, lidah Dera rasanya kelu.

AffectionWhere stories live. Discover now