BAB EMPAT PULUH

12.3K 681 10
                                    

Tiga pemuda yang berada di ruang tamu tampak tengah menunggu sesuatu itu sama-sama terdiam, fokus pada pikirannya masing-masing, hingga keheningan diantara mereka terpecah saat salah satu menyuarakan suara.

"Daddy kenapa sih kok lama banget sampainya?" celetuk Raiden, merasa sudah tidak sabar lagi untuk menunggu.

Jansen dan Jean kontan mendongak bersamaan, menatap adik bungsunya. "Tunggu aja, pasti masih di jalan, kalau nggak lagi macet," balas Jansen, membuat Raiden mendengkus.

Padahal ia sudah tidak sabar lagi untuk bertemu sang ibu, setelah sekian lama harus menunggu, kini akhirnya mereka bisa bertemu kembali. Dengan bibir berkerut, Raiden menjatuhkan punggungnya pada sandaran sofa sembari menggoyang-goyangkan kaki untuk membunuh rasa bosannya akibat menunggu.

Sedang di sisi lain, sebuah mobil Fortuner yang ditumpangi oleh tiga orang— termasuk dari supir itu, melaju setelah melewati kemacetan yang untungnya tak terlalu panjang.

"Sudah tidak sabar untuk sampai di rumah?" tanya Jayden, ketika sedari tadi ia memperhatikan Dera tampak tersenyum kecil, melempar pandangannya keluar dari kaca jendela mobil yang terbuka.

Menoleh pada suaminya, kedua sudut bibir Dera bertambah naik hingga senyumnya terlihat jelas. Wanita itu mengangguk. "Senang rasanya bisa kembali menginjakkan kaki di kota ini. Aku tidak sabar untuk bertemu anak-anak."

Jayden tersenyum. "Mereka pasti sedang menunggu sekarang."

Laju mobil hitam itu berkurang ketika sampai di depan sebuah bangunan rumah megah kediaman keluarga kecil Rodriguez, begitu satpam membukakan pintu gerbang, mobil hitam itu berjalan masuk, dan berhenti di pelataran rumah.

Melepas sabuk pengamannya, Dera dan Jayden sama-sama membuka pintu, turun dari mobil. Menyapu pandangannya pada sekitar, Dera tersenyum tipis, rasanya seperti sudah lama sekali ia tidak menginjakkan kaki di rumah ini.

"Ayo masuk," ajak Jayden, membuat atensi Dera beralih.

Membalas dengan anggukan, wanita itu menggandeng tangan kiri Jayden, lalu sebelah tangannya lagi mengusap perut. Begitu pintu rumah dibuka dan keduanya masuk, suara teriakan nyaring menyambut mereka diiringi tiga manusia yang berlari menghambur, memeluk Dera, hingga wanita itu hampir kehilangan keseimbangan, beruntung Jayden segera menahan.

"Boys, hati-hati," tegur Jayden yang tengah menahan punggung Dera.

"Mommy!! Raiden kangen banget sama Mommy, I miss you so so so much, Mommy jangan pergi lagi, Raiden nggak mau ditinggalin, Raiden sayang Mommy," seru Raiden beruntutan, pemuda itu menenggelamkan dirinya, memeluk erat sosok wanita yang sangat ia rindukan itu bersama kedua kakak kembarnya.

"I miss you, Mom," cicit Jean, meremas baju yang dikenakan Dera, pemuda itu juga memeluk tak kalah erat. Sedang Jansen hanya diam, membiarkan rasa rindunya untuk terobati, pemuda itu mengeratkan gigi gerahamnya agar tak menangis.

Mengerjapkan kelopak mata gandanya beberapa kali, Dera menatap ketiga bersaudara yang tengah memeluk dirinya itu. Tersenyum dengan ekspresi harunya, Dera balas memeluk, mengusap kepala mereka satu persatu.

"Miss y'all too. I'm sorry," ujar Dera, tangannya setia bergerak pelan mengusap-usap punggung mereka. Membiarkan rasa rindu yang selama ini ia tahan untuk meluap.

Sebagai penonton, Jayden hanya memperhatikan ibu dan anak yang saling berpelukan, sama-sama melepas rasa rindu. Rasanya damai sekali melihat pemandangan itu, bagaimana bisa dulu Jayden setega itu untuk memisahkan merela, bahkan tanpa berpikir ia memaksa ketiga putranya untuk menerima keputusan yang ia buat tak peduli mereka setuju atau tidak. Jayden benar-benar dibutakan oleh emosi dan rasa dendamnya sendiri.

AffectionWhere stories live. Discover now