BAB DUA PULUH TUJUH

8.7K 689 23
                                    

Entah sudah berapa kali helaan napas terdengar dari wanita yang tengah duduk di kursi teras samping rumah dimana kolam renang medium tersaji di depannya. Air yang tenang memantulkan pemandangan langit tempat sang purnama serta bintang tengah menghiasi.

Mengabaikan teh kamomil hangat— yang kini mungkin tak lagi hangat itu, Dera masih melamun dengan pikirannya yang melanglang buana, memikirkan permasalahan sama. Sudah tiga minggu ini, dan tak ada perubahan apa-apa terjadi, Jayden masih tetap teguh pada pendiriannya.

Segala cara telah Dera lakukan untuk menarik perhatian dan mendapatkan hati Jayden, namun pria itu tetap acuh tak acuh, mengabaikan Dera, dan lebih sering mementingkan Maudy. Apalagi Maudy semakin sering datang ke sini.

Melihat kemesraan antara keduanya pun membuat hati Dera sakit. Sejak awal, ini memang sudah menjadi resiko, beberapa kali Jessy menyinggung persoalan ini, meminta Dera untuk memikirkan apakah tidak bodoh hal yang tengah ia lakukan ini, mengharapkan sesuatu dari seseorang yang jelas-jelas tidak menghargai keberadaannya.

"Kamu benar-benar sudah yakin dengan keputusanmu, ya?" Dera bertanya dengan nada suara lesu.

"Kelihatannya?" Jayden menjawab dengan intonasi dingin.

"Apa sama sekali tidak ada kesempatan lagi buat aku?" Dera bertanya lagi, padahal tanpa ditanya pun sudah jelas jawaban apa yang akan diberikan oleh Jayden.

"Kamu sudah tau jawabannya."

Dera tersenyum kecut. "Jadi ... memang lebih baik untuk aku menyerah saja?"

Jayden terdiam beberapa saat, sebelum mengeluarkan kalimat yang membuat napas Dera tersekat. "Sejak awal, tidak ada yang menyuruh kamu untuk berjuang. Kamu hanya akan terlihat bodoh dengan menuruti permintaan naif mereka yang sia-sia."

Kilasan dari percakapan singkatnya dengan Jayden siang kemarin, membuat Dera kembali membuang napas pelan, mendongakkan kepalanya menatap taburan bintang di langit malam.

Satu minggu lagi, dirinya mungkin akan terpanggil di depan meja hijau bersama Jayden untuk melangsungkan sidang pertama dari proses perceraian mereka. Namun masih butuh beberapa tahap lagi yang memakan waktu beberapa bulan hingga akta cerai resmi keluar dari pengadilan.

Apa ia memang benar harus menyerah sekarang?

Logikanya berkata iya, namun sayang hatinya menolak.

***

"Mau sampai kapan kalian mendiamkan Daddy seperti ini?" Lontaran pertanyaan dari suara berat itu membuat atensi Jansen, Jean, dan Raiden beralih secara bersamaan.

Perubahan ekspresi kentara dari wajah mereka ketika mendapati sang ayahlah yang bertanya.

"Sampai Daddy batal bercerai dengan Mommy," Jansen menjawab datar.

Jayden mengembuskan napasnya pelan. "Daddy tidak akan merubah keputusan. Lagipula, kenapa kalian sampai bersikeras seperti ini? Tante Maudy juga tidak kalah baik dari Mommy Dera."

"Darimana Daddy tau?" tanya Jansen, menatap tepat kedua bola mata sang ayah.

Terdiam sejenak, Jayden mengerutkan dahi. "Maksud kamu?" tanyanya balik.

"Darimana Daddy tau kalau perempuan itu nggak kalah baik dari Mommy? Karena perlakuan dia ke Daddy? Sebenernya, Daddy memang pengen cari ibu pengganti buat kita, atau cuma pengen nurutin ego Daddy aja?" tanya Jansen, membuat Jayden mengerutkan glabela, tidak suka dengan kalimat terakhir yang diucapkan putra sulungnya.

AffectionWhere stories live. Discover now