BAB TIGA PULUH

10.4K 754 12
                                    

Sebuah mobil berwarna merah mengkilap masuk melewati gerbang rumah dengan warna cat putih itu dengan pelan, lantas berhenti di samping rumah, tempat dimana mobil seharusnya parkir. Turun dari mobilnya, sang empu berjalan lambat, menengadahkan kepala lalu pandangannya menelusur setempat.

Tak ada yang berubah, semuanya tetap sama, hanya saja rumah ini tak lagi berpenghuni sekarang. Kedati demikian, bangunan rumah tetap terlihat bersih, sekitarnya pun juga rapi, tanaman-tanaman masih tampak hijau dan segar. Theo benar-benar telah merawat rumah ini dengan baik.

Kembali melangkahkan tungkainya, Dera berjalan ke arah pintu, mengambil kunci rumah yang diberikan oleh Theo, lantas membuka pintu kayu berwarna cokelat gelap itu. Tatkala melangkahkan kakinya masuk, Dera seolah merasa dirinya terlempar ke masa lalu, dimana ia masih menempati rumah ini bersama kedua orang tuanya.

Tak banyak ingatan bahagia, semuanya tetap terasa hampa dan dingin. Pada ruang pertama, ada sebuah ruang tamu dengan sofa putih serta meja kayu yang di bawahnya dialasi karpet kulit hewan, lampu berwarna kuning keemasan menggantung di atasnya.

Dera kembali melanjutkan langkah sembari memperhatikan sekitar, hingga kini kakinya berhenti di depan pintu bercat putih. Meraih kenop pintu, Dera membukanya dengan perlahan, hingga sebuah ruang kamar beserta perabotannya yang tertutup kain putih tersuguh di depan mata.

Benar, ruangan ini adalah kamar milik Dera.

Berjalan masuk, pandangan Dera menyapu sekitar, lalu berhenti di depan cermin besar meja rias yang juga tertutup oleh kain. Menarik kain putih itu hingga terjatuh di lantai, Dera dapat melihat pantulan dirinya melalui kaca cermin.

"Lihat, betapa berantakannya diri kamu, Dera," gumam wanita itu pada sosok yang bayangannya terpantul dari kaca cermin.

Ia benar-benar sulit untuk berpikir jernih saat ini, emosinya sedang tidak stabil, ia takut akan melakukan sesuatu diluar batas yang membuatnya menyesal nanti.

Kadangkala, Dera bertanya-tanya, apa ini memang hukuman dari semua perbuatan yang pernah ia lakukan? Seolah tak mau habis, masalah baru terus saja berdatangan. Sebegitu berpengaruhnya apa yang ia tabur pada hasil yang ia tuai.

Memejamkan matanya, Dera mengambil napas dalam dan membuangnya perlahan. Wanita itu menolehkan kepalanya, mengambil ponsel dari dalam tas yang ia bawa. Dera membutuhkan Jessy. Mungkin dengan berbagi pikiran, ia bisa menemukan jawaban penyelesaian.

"Halo, Essy, apa sore ini kamu ada waktu?"

***

Pukul tujuh malam lebih tiga belas menit, Dera barusaja sampai di rumah. Sebetulnya ia enggan untuk pulang, hanya saja ia perlu membicarakan sesuatu dengan Jayden. Waktunya tak lama lagi, Dera harus segera bertindak dan membuat keputusan pasti, berhenti membuat dirinya terjebak dalam lingkaran keraguan yang masih abu-abu.

Dengan ekspresi datar, wanita itu berjalan masuk ke dalam rumah, hendak pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti baju, ketika melewati ruang tengah dimana ada Jansen, Jean, dan Raiden yang tengah berkumpul, mengerjakan PR mereka bersama-sama, perhatian ketiganya sontak beralih tatkala mendapati siluet seseorang yang tak lain adalah ibunya.

Otomatis mengembangkan senyum, Raiden segera beranjak, menyambut kepulangan sang ibu. Alih-alih tersenyum dan membalas sapaan Raiden seperti biasa, Dera justru memberi respons yang tak Raiden duga.

"Minggir dulu, Mommy capek," ujar wanita itu datar, menghindari pelukan Raiden dan meneruskan langkahnya menuju kamar.

Mengerjap, Raiden menatap punggung sempit yang berjalan menjauh itu dengan ekspresi bingung, begitu pula Jansen dan Jean yang ikut menyaksikan.

AffectionWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu