BAB SEPULUH

9.9K 773 5
                                    

Sesuai rencana, hari ini Dera dan anak-anaknya pergi jalan-jalan dan piknik di taman kota, wanita itu sudah bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan apa yang akan mereka bawa nanti, walaupun malamnya ia harus tidur cukup larut lantaran mengerjakan pesanan kliennya.

"Wuaahhh," gumam Raiden begitu mereka sampai di taman kota yang cukup ramai pengunjung meskipun masih pagi, karena ini adalah hari libur.

"Kita cari tempat dulu ya, dimana enaknya?" tanya Dera, sembari mengedarkan pandangan.

"Sana," tunjuk Jean pada salah satu tempat kosong di bawah pohon rindang.

Dera mengangguk. "Ayo, bantu bawa barang-barangnya ya," ujar Dera, mengangkat keranjang anyaman dari kayu yang berisi camilan serta minuman mereka.

Setelah membentangkan alas, kini mereka duduk di atasnya, menata makanan dan minuman yang sudah disiapkan ibu serta maid rumah mereka pagi ini.

Menjilat bibirnya, Raiden menyengir kecil, mengambil satu kue kecil dengan krim serta buah stroberi di atasnya, memasukan kue itu ke dalam mulut dengan sekali hap.

"Raiden," tegur Jean, ketika Raiden mencuri salah satu kue.

Sedang Dera hanya tertawa, ketika tangannya terulur hendak mencubit pipi Raiden karena merasa gemas, sebuah tepisan membuatnya terkejut.

Jansen yang sadar akan refleksnya barusan pun membuang muka. Ia bersumpah jika itu tadi hanyalah refleks. "M-maaf," ujar pemuda itu cepat, tanpa menatap ke arah lawan bicaranya.

Mengerjap, Dera segera tersenyum untuk mencairkan suasana. "Nggak apa-apa, Mommy ngerti kok," ujar wanita itu, lantas menarik sebuah tisu untuk mengelap sisa krim yang belepotan di ujung bibir Raiden.

"Kamu makannya belepotan, jadi kayak marmut," gurau Dera, membuat Raiden pura-pura mencebik kesal.

"Kok marmut sih Mommy," rajuknya, membuat Dera tertawa.

Di sela-sela itu, Jean tampak memperhatikan kakak sulungnya, sadar jika diperhatikan, Jansen menoleh.

"Lo oke?" tanya Jean, membuat Jansen berdesis, menghela napasnya.

"Ayo bicara," ujar Jean lagi, mengajak Jansen untuk mengobrol empat mata, ia tahu jika emosi kakaknya itu sedang labil saat ini.

"Kakak mau kemana?" tanya Raiden ketika melihat kedua kakak laki-lakinya berdiri, hendak beranjak pergi.

"Mau ngobrol bentar, kamu terusin aja dulu," ujar Jean, sebelum berlalu bersama Jansen untuk mencari tempat mengobrol.

Diam-diam, Dera memperhatikan kedua punggung yang kian menjauh itu. Ia mengerti, apa yang dilakukan Jansen tadi pasti hanyalah refleks. Respons spontan yang dilakukan anggota tubuh ketika merasa terancam.

Dera tak mempersalahkan hal itu, karena ia tahu, pasti tidak mudah untuk menerima kembali dirinya di kehidupan mereka, berdamai dengan keadaan tidaklah semudah yang bisa mulut katakan. Terlebih lagi, mereka masih anak-anak.

"Apalagi yang lo pikirin?" tanya Jean, membuka topik obrolan.

"Akhir-akhir ini, gue sering kebayang sama kejadian-kejadian buruk yang kita alamin dulu, dan itu bikin gue gelisah, emosi gue juga jadi nggak stabil," ujar Jansen, mengutarakan apa yang ia rasa beberapa hari akhir ini.

Jean menoleh, menatap kakaknya itu dengan seksama. "Itu karena lo sering overthinking, Sen. Let it flow, jangan khawatir, selagi kita tetep bareng-bareng, kita pasti baik-baik aja," ujar Jean, menepuk pundak Jansen beberapa kali.

Jansen memang seringkali memikirkan hipotesis terburuk yang belum tentu nanti akan terjadi, ia sangat menyayangi adik-adiknya, ia tak mau mereka terluka lagi, jadi sebisa mungkin, ia akan menghalau dan mengusir pergi bahaya yang nanti akan menyakiti adik-adiknya.

AffectionWhere stories live. Discover now