BAB DUA PULUH TIGA

8.6K 683 21
                                    

Mengambil napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan, Dera berusaha membangun kembali pertahanan diri, agar ia tak kehilangan kendali atas emosinya ketika berbicara dengan Jayden nanti.

Memejamkan matanya sejenak dan mengangguk tipis, Dera melangkahkan kaki mencari presensi Jayden hingga ia menemukan pria itu tengah duduk santai di depan televisi. Ah ... bahkan setelah apa yang terjadi beberapa saat lalu, pria itu masih bisa duduk santai dan tenang seolah tak terjadi apa-apa.

"Jay," panggil Dera, disahut deheman oleh sang empu, walaupun kepalanya sama sekali tak menoleh dari televisi.

"Aku ingin membicarakan sesuatu," ujar Dera, menunggu Jayden mengalihkan atensi dan mendengarkan baik-baik apa yang ingin ia sampaikan.

Dera bukanlah orang yang mudah tersugesti, namun ucapan serta permintaan anak-anaknya terlalu berat untuk ia tolak, mengingat ini mungkin akan menjadi hal terakhir yang bisa ia lakukan sebelum ia benar-benar keluar dari rumah dan keluarga ini, walaupun mungkin ini juga hanya akan menambah dalam rasa sakit di hatinya.

Ia tak bisa menjanjikan apa-apa, karena ia juga tidak yakin jika Jayden akan mau mengubah keputusannya. Katakanlah, Dera adalah wanita bodoh, yang mau-maunya berjuang demi sesuatu sia-sia dan tak pasti seperti ini, namun biarkan ia untuk sekali dan terakhir kali ini saja egois atas perasaannya. Ia tidak akan membiarkan Jayden menjadi milik orang lain semudah itu.

"Katakan," sahut Jayden, masih belum mau menolehkan kepalanya. Benar atensi pria itu ada di televisi, namun isi kepalanya bercabang kemana-mana.

Benar jika ia terlihat tenang dan santai, padahal ego dan akal sehatnya tengah berperang sengit. Ia merasa bersalah karena telah membentak dan hampir memukul putranya tadi, ia terlalu lama memendam emosi, hingga sekalinya tersulut bisa meledak seperti tadi.

"Aku mempunyai satu permintaan, izinkan aku untuk tetap tinggal di sini hingga surat perceraian kita keluar dari pengadilan. Bukan bermaksud untuk tidak tahu diri, tapi paling tidak, beri aku waktu untuk benar-benar bisa melepaskan kalian, dan beri aku ruang untuk menghabiskan sisa waktu bersama anak-anak, sebelum nanti kita akan jarang bertemu," urai Dera dengan tatapan mata yang tak luput dari Jayden.

Terlihat pria berbadan atletis itu menoleh tipis, menggerakkan bola matanya. "Saya tidak menerima permintaan tanpa imbalan," balas Jayden arogan, membuat Dera tersentak pelan.

Mematikan televisi, Jayden menoleh sepenuhnya, menatap balik kedua bola mata Dera. "Saya izinkan, tapi setelah itu kamu tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengan anak-anak saya, dan tidak saya izinkan, tapi kamu masih tetap bisa bertemu kapanpun kamu mau dengan mereka. Silakan pilih," ujar Jayden lagi.

Melebarkan pupilnya, Dera tak menyangka jika Jayden akan menjadi seangkuh ini, sebegitu bencikah pria itu padanya?

"Jay—"

"Saya tidak menerima protes, silakan memilih antara dua pilihan itu, jika mau. Jika tidak? Up to you, you can go from here," sela Jayden, mengusir secara tidak langsung.

Hati Dera mencelos. Mengepalkan tangannya, Dera menunduk sesaat, ini adalah pilihan yang sulit, namun ia tidak memiliki waktu untuk berpikir panjang. "Opsi pertama," jawab Dera dengan suara bergetar, menahan emosi.

Setidaknya, ia masih bisa menghabiskan waktu bersama ketiga putranya, sebelum mereka berpisah 'kan?

Jayden mengangguk tipis. "Fine. Silakan memilih kamar kosong, terserah ingin tidur di mana."

***

"Baiklah, aku akan jujur, tapi kamu harus berjanji untuk tidak melakukan sesuatu setelah ini."

AffectionOnde as histórias ganham vida. Descobre agora