BAB TIGA PULUH SATU

9.9K 792 18
                                    

Atensi pria yang tengah memainkan bolpoin sembari menatap layar komputer di depannya itu beralih tatkala pintu ruangannya dibuka tanpa permisi. Mendapati siapa yang masuk, sebelah alis Jayden terangkat.

"Mario? Ada apa?"

Mario menggeleng pelan. "Sedang sibuk? Ada yang ingin ku bicarakan denganmu."

"As you can see. Duduklah, katakan apa yang ingin kau bicarakan, akan ku dengarkan dari sini," sahut Jayden.

Alih-alih mengambil duduk, Mario justru melesakkan kedua tangannya ke dalam saku celana, dan melangkah mendekati meja kerja Jayden, dimana pria itu tengah sibuk berkutat di depan komputer dan beberapa tumpuk berkas.

Mario membuang napas pendek. "Ini tentang Dera, juga tentang Maudy," ujar Mario mengawali apa yang ingin ia bicarakan.

Sontak Jayden kembali mendongakkan pandangannya. Membuang napas kasar, pria itu menjatuhkan punggung pada sandaran kursi. "Aku hampir kenyang mendengar ceramahan. Kemarin malam Lucas, pagi tadi Claretta, lalu sekarang kau. Kali ini apa lagi yang harus ku dengar?"

Mario menarikkan kedua alisnya. "Hm? Jadi mereka sudah meminta Lucas dan Claretta juga sebelumnya?"

Jayden menghela napas dan mengangguk. "Entah siapa lagi setelah ini."

Mario terkekeh. "Lalu apa yang akan kau lakukan? Anak-anakmu saja sampai bersikeras seperti ini untuk membuat kalian batal bercerai. Mereka menolak keputusanmu, Jay. Jika kau melakukan ini untuk kebaikan mereka, harusnya kau juga memikirkan apakah mereka mau atau tidak."

"Aku sedang berpikir," jawab Jayden.

"Mau berpikir sampai kapan? Kiramu kau memiliki banyak waktu? Jika bukan karena anak-anakmu yang sampai rela menghubungiku dan meminta bantuan seperti ini, aku mungkin tidak akan berkata demikian padamu," ujar Mario, menatap Jayden dengan serius.

"Stop thinking and take action, kau hanya akan terjebak di tempat jika terus-terusan berpikir. You're not a teenager anymore, Jay. Jadi kau tau apa yang seharusnya untuk kau lakukan. Seperti yang sudah ku bilang sebelumnya, anak-anakmu terlalu dini untuk mengerti masalah orang dewasa, tapi secara tidak langsung, kau telah memaksa mereka untuk mengerti," ucap Mario dengan telak, tanpa menyaring apa yang ia katakan, tak seperti tempo lalu.

Jayden hanya membuang napasnya, tanpa menyahut. Pria itu masih terdiam, memijat pangkal hidung dan memejamkan matanya.

Di tengah-tengah keheningan itu, tiba-tiba ponsel Mario berbunyi, membuat pria dengan cukuran quiff itu menunduk, mengambil ponselnya yang bergetar di saku jas.

"Ya? Baiklah, persiapkan semua perlengkapannya, saya akan segera kembali. Hm, Ya." Begitu sambungan telepon terputus, Mario kembali memasukkan benda itu ke asalnya.

"Rupanya aku tidak memiliki banyak waktu. Ku harap ceramahan yang kau dapat ini bisa membuatmu sadar, Jay. Aku pergi dulu," pamit Mario, membalikkan badan dan berlalu pergi.

Meninggalkan Jayden yang masih diam, larut dalam pikirannya.

***

Suara derit pintu kamar mandi yang dibuka terdengar ketika sang empu keluar dari dalam sana dengan bathrobe dan rambut yang basah, sembari berjalan menuju walk in closet, Jayden mengacak rambutnya yang basah, lalu mengambil kemeja, jas, serta celananya dari gantungan lemari.

Usai memakai rapi setelan formal ala kantorannya, Jayden kembali ke kamar, ketika hendak mengambil jam tangannya yang ada di dalam laci nakas, gerakan pria itu terhenti tatkala melihat sebuah map yang terletak di atas nakas. Mengambil map itu, Jayden membukanya sebentar, lantas membuang napas panjang.

AffectionWhere stories live. Discover now