BAB DUA PULUH DELAPAN

9.2K 672 20
                                    

cw / mature content (18+) /

***

"Sepertinya kau memiliki beban pikiran yang cukup berat," singgung Mario ketika ia melihat Jayden hanya diam sambil menopang kepalanya, tampak memiliki masalah sehingga pikirannya bercabang dan menelantarkan pekerjaan.

"Berceritalah, Dude. Aku mungkin tidak bisa membantu apa-apa, tapi paling tidak ringankan masalahmu dengan sedikit terbuka," ujar Mario lagi sembari mengubah posisi duduknya, bersilang kaki.

Mengembuskan napas kasar, Jayden mengerutkan kening. "Apa menurutmu yang ku lakukan ini sudah benar?" tanyanya, mengundang ekspresi bertanya dari Mario, karena pertanyaan ambigu Jayden.

"Hal yang mana dulu? Tentang kau menceraikan Dera atau kau yang akan menikahi Maudy? Hmm, atau ada masalah lain yang sedang kau sembunyikan?" tanya Mario.

"Semuanya. Bagaimana pendapatmu?" Jayden menatap Mario.

Membuat pria itu terkekeh. "Setelah dari berminggu-minggu yang lalu mengambil keputusan, baru sekarang kau bertanya pendapatku?" sindir Mario, sembari menegakkan punggung, kembali mengubah posisi duduknya.

"Kau tau, Jay, aku mungkin bukan orang yang berpengalaman pada sebuah hubungan, karena kau tau sendiri aku orang yang seperti apa." Mario berujar setelah menarik napas, mengisi paru-parunya dengan oksigen. "Kau bisa membuang mentah opiniku, tapi kurasa, yang kau lakukan ini bukanlah hal tepat."

Pandangan Jayden kembali tertuju pada Mario. "Alasanmu?"

"Ayolah, Dude, harusnya kau tau. Waktu yang kau pilih untuk mengambil keputusan ini salah. Jika saja kau menceraikan Dera dari dulu, mungkin suasananya tidak akan sekacau saat ini, dan rasa tak tegamu atas hilangnya ingatan Dera itu hanya alibi padahal kau memang masih mencintai wanita itu 'kan? Jujurlah saja."

Jayden membisu.

Daddy sebenernya masih cinta 'kan sama Mommy?

Kenapa orang-orang sekitarnya terus menghujani kalimat itu? Segamblang itukah perasaan Jayden? Padahal ia sudah berusaha bertindak kasar—walaupun sebagian memang murni dari letupan emosinya—dan mengatakan kalimat-kalimat menyakitkan agar Dera juga membenci dirinya, akan tetapi kenapa malah jadi seperti ini?

"Sejak awal, mengundang orang lain dalam sebuah hubungan itu memang sudah keputusan yang buruk. Terlebih ... kau hanya menjadikan Maudy pelampiasan atas perasaan kecewamu pada Dera, benar 'kan?" ujar Mario lagi, membuat Jayden tertegun.

Namun pria itu segera memberi sanggahan. "Jangan membicarakan omong kosong, Mario."

Menaikkan kedua alisnya, Mario menarik napas pendek melalui mulut. "Oke, maaf, aku kelewatan."

Terdapat jeda cukup lama di antara keduanya, ketika keheningan mulai merajai suasana, hingga selang kemudian Mario membuka kembali suaranya.

"Aku ingin tau, sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan, sehingga baru sekarang bertanya sudah benar belumnya keputusan yang kau ambil? Satu minggu lagi kalian akan menghadiri sidang di pengadilan, bukan?" tanya Mario, menoleh pada Jayden.

Fakta jika satu minggu lagi ia akan mendengar keputusan dari hakim tentang surat gugatannya membuat jantung Jayden seperti diremas. Bukankah harusnya ia senang? Tapi kenapa hatinya justru memberi respons seperti ini?

"Hanya bertanya, aku ingin tahu bagaimana pendapatmu." Jayden menjawab pertanyaan Mario dengan intonasi datar.

Kekehan pelan terdengar dari Mario. "Kukira hanya aku, tapi ternyata kau juga tak kalah brengseknya dengan diriku."

AffectionWhere stories live. Discover now