7| Meeting

106 41 72
                                    

Liam yang baru memasuki ruangan meeting mengernyitkan keningnya bingung menatap pemandangan dua insan di hadapannya. Ia melirik si gadis yang tengah menundukkan kepalanya sambil berkutat dengan tali gaunnya yang gadis itu mainkan. Sedangkan si pria yang berada di sofa seberangnya tengah menengadahkan kepalanya ke sandaran sofa, namun ada satu hal yang membuat mata bulat Liam melebar.

Saat Liam berniat bertanya, tiba-tiba terdengar suara pintu di sisi lain terbuka. Memunculkan dua sejoli lain dengan ekspresi wajah yang sama-sama murung, membuat rasa penasaran Liam menjadi semakin besar pada kejadian yang sebenarnya terjadi pada rekan-rekannya.

"Kau sudah datang duluan, Alarick?" tanya pria yang baru tiba itu, membuat Liam lagi-lagi gagal untuk bertanya.

Alarick yang tengah menengadahkan kepalanya itu hanya menjawab 'hmmm' dengan mata yang masih setia menutup.

"Apa yang terjadi pada pipimu itu? Kenapa sampai begitu merah?" pria tersebut kembali bertanya namun dengan nada yang mengejek.

Mata Alarick terbuka sempurna, ia kemudian menatap tajam si pe-nanya. "Diamlah Victor, aku sedang tidak ingin di ganggu!"

Victor kembali terkekeh, lalu ia mendudukkan tubuhnya di samping Alarick. Ia lalu menatap gadis yang masih setia berdiri, "Duduklah, kau tidak lelah berdiri terus?"

"Oh, Killer Aphro!" seru Liam yang membuat atensi keempat orang itu berpindah padanya.

"Kau! Liam, orang yang tadi memberiku misi, kan?" Liam mengangguk lalu tersenyum manis memperlihatkan gigi kelincinya, ia mengira gadis itu akan membalas senyumannya tapi ternyata tidak.

"Terima kasih. Berkatmu aku harus merasakan sesuatu hal yang benar-benar berbeda dari sebelumnya," perkataan penuh penekanan itu mengalir dingin di telinganya, tepukkan lembut di pundaknya bahkan terasa begitu berat dengan hawa membunuh yang cukup besar.

Delyva lalu memilih berjalan menuju sofa di sebelah gadis yang bersama Alarick itu, saat mata keduanya bertemu ada sedikit ekspresi terkejut yang kentara. Namun keduanya kembali merubahnya dengan cepat, dan kembali bersikap tenang.

Kleek!

Pintu kembali terbuka dan memunculkan tiga pria dengan pakaian formal yang rapi, kecuali satu pria yang terlihat begitu sexy dengan kemeja yang tiga kancing teratasnya sengaja di buka dan menampilkan dada bidangnya.

"Baru kalian? Sean belum datang?" tanya Dylan celingak-celinguk mencari keberadaan pria pembawa keceriaan itu.

"Memangnya matamu melihat adanya sosok Sean disini? Kalau ingin bertanya yang logis saja."

Dylan memandang sinis orang yang baru saja menyahutinya, "Tidak bisakah kau sedikit sopan kepadaku, Leon? Aku lebih tua darimu, kalau kau lupa."

"Ne ahjushi, jweisonghamnida..." ucapnya dengan nada datar dan memilih berlalu pergi menuju sofa. (Iya pak tua, maafkan aku...)

"Ya! Aku tidak setua itu! Berhentilah bersikap sopan, jika nada bicaramu begitu!" amuk Dylan dengan suara yang menggelegar.

"Sudahlah hyung! Kau akan semakin bertambah tua jika marah-marah. Padahal kau jelas tahu jika Leon memang begitu," ucap pria sexy itu menenangkan Dylan yang ingin mengamuk lagi karena tidak di gubris oleh Leon. (Kakak)

Baru saja Dylan mendudukkan tubuhnya ke sofa, terdengar suara orang yang tengah berbincang di ikuti suara pintu terbuka. Menampilkan Sean dan dua gadis muda di belakangnya, sedangkan di pintu lain muncul seorang wanita berwajah Eropa yang datang sendirian.

Sean tersenyum lebar. "Semua sudah berkumpul ya? Wahh, ternyata kami terlambat..." katanya memecah keheningan yang mencekam di ruangan itu.

"Memangnya sudah semuanya?" tanya Luca bingung.

𝐒𝐎𝐋𝐕𝐄 𝐓𝐇𝐄 𝐄𝐍𝐈𝐆𝐌𝐀 [𝚁𝙴𝚅𝙸𝚂𝙸]Where stories live. Discover now