8 - Hilangnya Kebahagiaan

67.7K 9.3K 248
                                    

◌⑅⃝●♡⋆🦋HAPPY READING🦋⋆♡●⑅◌



*****

Mobil yang Bisma kendarai akhirnya tiba di parkiran rumah sakit ANDALA. Ellie yang tak sabaran segera berlari masuk untuk menuju ke arah resepsionis diikuti sahabat dan teman-temannya.

"Tolong tunjukkan pada saya di mana ruangan orang tua saya, Sus." Ellie bertanya dengan linglung. Pandangannya terlihat tak sabaran. Ada ketakutan besar di dalam dirinya saat ini. Hatinya tak tenang, bahkan dadanya naik turun tak teratur.

"Dek, tenang. Kalau boleh tahu nama orang tua Adek siapa?" tanya resepsionis itu mencoba ramah.

"Fiona! Fiona dan Tama," kata Ellie.

Resepsionis itu mencari daftar nama pasien yang di tampilkan di layar monitor.

"Atas nama ibu Fiona Evelyn Zovanka dan bapak Geotama James Alezio, benar?" Ellie mengangguk. "Mereka sudah dipindahkan ke kamar jenazah, Dek."

Deg.

Ellie limbung detik itu juga. Air matanya lagi-lagi mengalir deras, kepalanya menggeleng berusaha tidak percaya. "Nggak! Nggak mungkin mereka meninggal. Bilang sama saya kalo suster bohong, kan?!" seru Ellie meraung-raung. Berta memeluknya erat, gadis itu ikut menangis tak percaya.

"Lepasin gue!" Ellie menyentak lengan Berta kasar, ia berlari sekuat tenaga dengan menghapus air matanya yang tak henti mengalir.

Ia menuju ke ruang jenazah, Ellie berharap semoga ini tidak nyata. Ini hanya mimpi, tolong bangunkan Ellie! Dia masih ingin mendapatkan kasih sayang kedua orang tuanya.

Ellie mendobrak pintu ruang jenazah. Di sana ia mendapati pak Anto tengah memeluk bi Atun yang menangis.

Ellie menggeleng. Tangannya meremat kuat dadanya. Ia berjalan kaku menuju dua brankar yang di atasnya terdapat masing-masing tubuh Fiona dan Tama.

Ellie masih diam walaupun air matanya mengalir. Dia kembali menggeleng. Tangannya terangkat dengan gemetar untuk menyentuh wajah sang ibu yang sudah memucat. Banyak sekali luka di wajah cantik Fiona, membuat hati Ellie tercabik-cabik.

Gadis itu membekap mulutnya agar tak berteriak keras sehingga tangisan pilunya tertahan. Ellie menoleh, berganti menghampiri brankar ayahnya. Gadis itu menundukkan kepala, mendekatkan telinganya ke dada sang ayah untuk memastikan bahwa detak jantung pria itu masih berbunyi.

Detik di mana semua yang ia pastikan tidak ada yang sesuai harapan, Ellie tak kuasa lagi menahan segala kepedihannya. Gadis itu berteriak hiteris dengan memeluk tubuh Tama erat.

"PAPA, MAMA! BANGUN! KALIAN GAK BOLEH NINGGALIN ELLIE!"

"Ellie gak mau sendirian, Pa! Ellie gak mau kesepian! Ellie mohon, kalian harus bangun!" Ellie terisak. Ia mengguncang kuat tubuh Tama, berharap ayahnya bangun untuk melihatnya kembali.

"Mama ... Ellie gak mau sendirian, Ma." Suara Ellie tercekat. Ia kembali meraung-raung, menolak takdir yang Tuhan rencanakan untuk kedua orang tuanya.

"Nggak boleh! Kalian gak boleh ninggalin, Ellie. Kalian janji akan sama Ellie terus. Cuma kalian satu-satunya keluarga yang Ellie punya! Gimana nasib Ellie kalo gak ada kalian?"

Ellie mendunduk, mecengkram erat besi brankar Tama. "Ya Tuhan, kembalikan jiwa orang tua saya. Dosa apa yang telah saya perbuat sehingga Engkau mengambil mereka dariku?"

"Ellie gak kuat, Ya Tuhan. Mereka yang selalu memberikan Ellie perhatian dan kasih sayang. Satu-satunya alasan Ellie semangat dalam menjalani hidup. Mereka yang selalu berusaha keras membuat Ellie bahagia, tapi kenapa jiwa mereka Kau ambil? Salahku apa? Salah mereka apa?" lirih Ellie pilu. Semua yang berada di ruangan menangis. Berta dan Silva hanya bisa menangis dalam diam. Bisma dan Tomy menunduk sembari menghapus sebulir air mata yang berhasil lolos.

BRATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang