39 - GARIS LURUS

47.1K 6.4K 3.4K
                                    

"Setiap helaan nafas dari kamu itu adalah kehidupan bagi aku, Ellie."

-Brata-

****

"Abintara, ada yang ingin kukatakan padamu."

Pria paruh baya yang tengah menatap lurus seseorang yang ada di dalam ruang rawat rumah sakit itu pun menoleh saat mendapati suara seorang Dokter yang telah menangani anaknya semalam.

Abintara langsung melepaskan tangannya yang tadi terlipat di depan dada. Guratan wajah tegasnya itu pun perlahan mengendur dan menatap dokter bernama Darma dengan wajah bertanya.

"Apa?"

"Sebaiknya kita bicarakan di ruangan pribadiku," ucap Dokter Darma sembari berbalik membimbing Abintara untuk mengikutinya.

Abintara membuang nafas pelan. Diliriknya tubuh sang anak yang penuh alat penompang hidup di dalam ruangan sana, lalu ia pun memilih mengikuti langkah Dokter tadi.

Sampai di ruangan pribadi Dokter Darma, Abintara dibimbing untuk duduk. Pria berkemaja hitam dengan dua kancing terbuka itu langsung saja mengintrupsi Dokter Darma supaya cepat mengatakan apa yang pria itu ingin katakan.

"Apa kau sudah tau bahwa anakmu memiliki sebuah penyakit?"

Mendengar lontaran pertanyaan itu membuat Abintara langsung mengerutkan keningnya dalam. Duduknya pun kini berubah tegap, lalu mata gelap dan tajamnya menatap penuh bingung pada manik sang lawan bicara.

"Maksudmu? Penyakit apa?" tanya Abintara yang sama sekali belum tahu.

Dokter Darma terlihat mengeluarkan sebuah kertas dari dalam laci meja ruang pribadinya. Lalu pria paruh baya itu memberikannya pada Abintara yang langsung diterima oleh sang empu.

"Aku mendapatkan sebuah pernyataan dari rumah sakit Arthur Jaya bahwa anakmu mengidap penyakit tumor otak sejak tiga bulan yang lalu."

Telat. Mata Abintara yang tadi tengah membaca seketika berhenti di tengah jalan ketika mendengar ucapan yang berhasil menghantam relung hatinya. Perlahan matanya menajam, lalu ia pun terkekeh.

"Surat pernyataan ini palsu. Anakku tidak mungkin mengidap penyakit mematikan seperti itu, Darma," sela Abintara masih berusaha tak percaya dengan surat pernyataan penyakit yang diberikan Darma.

"Kami tidak pernah memalsukan apapun, Abintara," tutur Darma. "Arthur bilang, anakmu selalu menyembunyikan penyakitnya dari siapapun sejak tiga bulan yang lalu. Entahlah untuk apa, tapi kurasa dia tidak mau merepotkan orang-orang di sekitarnya."

"Brata terlihat baik-baik saja selama ini," kata Abintara berakhir lirih. Jadi apakah ia masih bisa menyangkal ketika mengingat sang anak selalu saja mengurung diri ketika sakit.

Abintara mengusap wajahnya kasar. Kenyataan ini sungguh membuatnya merasa bahwa dirinya sebagai orang tua sangat kurang memberikan perhatian kepada sang anak. Dari dulu Abintara tak pernah mengizinkan Brata untuk menjadi anak yang bergantung kepada kedua orang tuanya. Dan tak memperbolehkan Brata untuk menjadi anak yang apa-apa selalu dikeluhkan kepada dirinya dan Cimberly.

"Stadium berapa?"

"Bacalah surat itu baik-baik."

"Stadium dua ...." Bergeming, tatapan Abintara perlahan kosong setelah membaca surat pernyataan tadi. "Ini masih awal bukan? Aku yakin anakku masih bisa disembuhkan."

Darma menghembuskan nafasnya panjang. "Tumor bisa diangkat jika masih tahap awal, yaitu stadium satu. Tapi kurasa, tidak ada salahnya Brata melakukan operasi pengangkatan dan melakukan tahapan pemulihan lainnya seperti radioterapi dan kemoterapi."

BRATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang