41

60 11 0
                                    

Flashback..

Brandon baru saja keluar dari salah satu bilik toilet ketika pendengarannya tidak sengaja mendengar percakapan seseorang melalui telepon dari bilik paling pojok.

"Mama kenapa sih pengen aku gangguin mereka? Kenapa kita ngga hidup begini aja selamanya? Aku lebih nyaman ma.."

Brandon semakin mempertebal indera pendengarannya ketika mneyadari bahwa pemilik suara itu adalah Ayas. Orang yang tadi pagi memberikannya tantangan untuk mendekati gurunya sendiri.

"Mama ngga denger ancamannya bang Brian kemarin?!"

Brian? kek nama kakak gue.. Brandon mulai menaikkan alisnya penasaran.

"Ma, aku ngga mau jadi penerus Wijaya Group!". Bentak Ayas lalu sedetik kemudian terdengar suara benda dibanting yang sepertinya ponsel.

Brandon pun cepat-cepat pergi dari sana agar tidak ketahuan Ayas karena telah menguping pembicaraan bocah itu dengan ibunya. Tapi... Wijaya Group bukan kah nama perusahaan milik ayahnya? dan kenapa pula Ayas tidak mau menjadi penerus perusaan? Memang siapa Ayas? Bukan kah seharusnya yang menjadi penerus perusahaan tersebut adalah dirinya? Kemudian apa tadi? Brian mengancam? Brian? Kakaknya? Apakah kakaknya tau sesuatu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus berkecamuk di dalam pikiran Brandon saat ini.

Flashback off..

******

Brian sedang memainkan bassnya dengan asal-asalan di sofa studio ketika seseorang tiba-tiba menepuk bahunya hingga membuatnya sedikit terkejut. 

"Anjing gue pikir siapa lu nang..". Ucap Brian kembali memainkan bassnya setelah tau bahwa orang tersebut adalah Danang.

Danang hanya bisa tertawa kecil lalu ikut mendudukan tubuhnya pada salah satu sofa yang terletak di sebelah sofa yang Brian tempati. Pria itu kemudian memandangi Brian dengan tatapan yang aneh hingga membuat Brian menjadi sedikit risih.

"Lo kenapa ngeliatin gue kayak begitu?"

Danang semakin melebarkan senyumannya dan segera berdiri untuk menghambur ke pelukan Brian dengan paksa. "Gue kangen sama lo baaangggg!!!!"

"Woy! lepas! lepasss!". Sementara Brian hanya bisa meronta-ronta dan mendorong tubuh Danang agar pria itu segera enyah dari atasnya.

"Kangen banget gue sama lo.. kangen nge-band bareng..". Tambah Danang setelah melepaskan pelukannya dan kembali duduk di tempatnya semula. Pria itu lantas memandangi seluruh sudut studio mereka dengan hati yang mendung. Mencoba mengingat-ingat kembali kenangan-kenangan kebersamaan mereka sewaktu masih akur dahulu.

Brian ikut mengedarkan pandangannya mengikuti Danang. Sejujurnya ia juga merindukan suasana yang tercipta ketika mereka semua berkumpul bersama. Canda dan perdebatan kecil yang selalu terjadi yang kini sepertinya sudah sulit untuk ditemukan kembali.

"Maaf ya nang..". Ujar Brian lirih yang masih dapat didengar oleh Danang.

Pria itu hanya melihat Brian dengan senyumannya yang hangat. "Bukan salah lo bang.. bukan salah siapa-siapa.."

Kini giliran Brian yang tersenyum kecil. Ia juga tahu sebenarnya hal terjadi pada band mereka saat ini bukanlah salah siapa-siapa. Itu semua hanyalah jalan takdir yang memang sepertinya harus terjadi. Tapi salahkan Brian sebagai manusia biasa merasa marah dan menyalahkan seseorang atas apa yang telah terjadi? Kalaupun salah.. untuk itulah Brian meminta maaf kepada Danang. Maaf karena Brian masih mengikuti egonya..

Merasakan aura diantara mereka yang berubah sendu, Danang pun segera membuka ponselnya untuk mencari salah satu postingan yang tadi sempat ia baca pada salah satu sosial media. 

The ConcertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang