15 (Jae 2.0)

87 14 0
                                    

Jae meringis mendengar jawaban dari sahabatnya tersebut. Pria itu kemudian memilih untuk kembali duduk di kursinya sambil sesekali mengepulkan asap rokoknya ke udara. Pikirannya berputar untuk menemukan jalan keluar dari permasalahan yang kini tengah ia hadapi. Keluarga dan persahabatan. Dua hal yang sama-sama penting bagi kehidupan Jae sehingga sulit baginya untuk mengorbankan salah satu.

Beberapa saat kemudian Brian kembali dari konter dapur dengan membawa 2 gelas wine yang kemudian ia letakan diatas meja. "Buat lo..". Ucapnya sambil menyodorkan salah satu gelas tersebut kepada Jae.

Jae menerima minuman beralkohol tersebut dengan antusias seperti yang biasa ia lakukan ketika berinteraksi dengan para sahabatnya. Jae tidak mau terlihat berbeda hingga membuat Brian curiga dan berakhir menanyainya macam-macam.

"Makasih..". Setidaknya itu yang harus ia katakan setelah menerima sesuatu dari orang lain.

Brian menggelengkan kepalanya kecil. "Santai lah.. kalo mau lagi tinggal ambil sendiri ditempat biasa"

"Oke.."

Lalu tidak ada percakapan lagi diantara mereka karena kemudian kedua manusia itu mulai sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Brian menjadi orang pertama yang meninggalkan meja makan. Pria itu memilih duduk di sofa sambil memainkan gitar bass-nya walau nampak sekali jika pria itu sudah setengah terbang karena baru saja menghabiskan hampir satu botol wine dengan kadar alkohol 35%. Sementara Jae? Pria itu sekarang tengah sibuk berbaring di karpet depan televisi sambil sesekali memindah-mindah chanel untuk mencari tontonan yang menarik.

"Kamu dan aku tahu bahwa ini bukanlah jalan yang mudah.. Bahwa tidak banyak bunga yang bermekaran di jalan ini.."

Jae sedikit menaikkan alisnya ketika tiba-tiba suara Brian melantuntan rangkaian kata bernada dengan gaya dramatis yang ia duga sebagai lirik baru buatan sang bassist. Lirik dengan makna dalam yang mengingatkan Jae kepada kisah cinta Brian dengan Fira yang tidak mendapat restu dari orang tua Brian. Pria itu lantas menghela nafasnya lemah untuk membuang rasa bersalahnya yang kian menumpuk.

**

Malam itu keadaan di kediaman seorang Andrean Jevan atau biasa di kenal dengan panggilan Jae gitaris enam hari tampak ramai dengan kehebohan dari orang-orang yang sibuk berlalu lalang mempersiapkan makanan di meja makan besar tempat mereka akan melakukan pertemuan keluarga. 

Hal itu agak bertolak belakang dengan suasana kamar Jae yang sunyi karena sang pemilik sedari tadi hanya berdiri diam di depan cermin sambil memandang pantulan dirinya dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan.  Rambut hitam dengan highlight pirang di beberapa tempat itu juga ia biarkan mengering tak beraturan.

Jae kemudian mengancingkan kancing kemeja di pergelangan tangannya dengan malas. Jika bisa, ia ingin sekali pergi bersama Brian mengunjungi klub dari pada harus menghadiri pertemuan keluarga yang hanya akan membuat kekacuan di hidupnya.

Tiba-tiba pintu dibuka dari luar hingga menampilkan sesosok pria paruh baya bersetelan jas rapi yang kini memilih untuk berdiri diambang pintu sambil melihat ke arah puteranya dengan bahagia. 

"Jae, jam 8 teman papah sampai.. kamu agak cepetan ya siap-siapnya..". Ucap Hotman, ayah dari Andrean Jevan.

Jae hanya melihat sosok ayahnya dari pantulan cermin. Pria itu kemudian mengambil jam tangan dari atas meja tanpa mau repot-repot membalikan tubuh untuk melihat ke arah Hotman. "Iya, abis ini aku turun pah.."

Hotman yang mendengarnya hanya bisa mengangguk lalu kembali menutup pintu kamar Jae hingga menghilangkan sosoknya yang kini sudah pergi entah kemana. 

Selepas kepergian ayahnya, Jae kembali menatap dirinya lewat cermin. "Kenapa gini amat sih hidup gua..". Keluh pria itu kesal. Namun tak peduli seberapa sering ia mengeluh dan meminta agar nasibnya bisa berubah, tuhan sepertinya tetap tidak mau merubah jalan takdirnya.

The ConcertWhere stories live. Discover now