#52 : Final Plan

390 42 23
                                    

Pagi harinya, aku meminta Bella untuk mengirimkan surat secara diam-diam ke kediaman Alpheus di Obelia. Bella yang mendengar bahwa suratnya harus dikirim ke Obelia terkejut dan menatapku dengan tatapan penuh kecurigaan.

"Putri, siapa orang yang anda kenal di kediaman Alpheus... tidak, bahkan saya rasa anda tidak mengenal siapapun di Obelia." Ucap Bella.

"Aku punya teman kok di Obelia... namanya Jennette Margarita." Jawabku.

Bella terlihat terkejut dan kembali bertanya, "Bagaimana anda tahu bahwa nona Jennette Margarita tinggal di kediaman Alpheus? Dan lagi, kapan anda pernah bertemu dengannya?"

"Kau terlalu banyak bertanya. Sebaiknya lakukan apa yang aku perintahkan tanpa tahu apapun." Ucapku dengan nada kesal.

"Tapi, putri..."

"Kalau tidak mau bilang saja, jangan menunda-nunda seperti itu."

"Ah, tidak. Saya pergi."

Bella akhirnya pergi dengan cepat. Aku tahu bahwa masih banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan, tapi dia tidak mungkin akan berani bertanya padaku lagi, kan?

***

Isi suratnya tidaklah penting, hanya sekedar bertanya kabar seperti orang yang sudah lama saling mengenal dan mengajaknya berteman.

Jennette tetap menjawab surat dariku karena seperti itulah sikapnya. Lalu setelah beberapa bulan saling berkirim surat, kami semakin akrab dan aku memutuskan untuk memulai rencanaku.

Aku mengirim bola komunikasi pada Jennette dan kami pun mengobrol lewat alat itu. Menceritakan tentang dunia ini yang adalah dunia novel dan Jennette adalah pemeran utamanya.

Hanya orang bodoh yang akan percaya akan hal itu, dan salah satu dari orang itu adalah Jennette. Dia adalah gadis yang naif dan polos, tentu sangat mudah untuk ditipu. Yah, lagipula yang aku katakan bukan tipuan dan tidak ada kebohongan sama sekali.

Lalu, karena aku semakin tertarik dan ingin sekali mengubah alur cerita novelnya, aku meminta Jennette yang masih berumur sembilan tahun untuk pergi ke pesta ulang tahun Claude, Jennette pun langsung menyetujuinya dan Roger Alpheus pun terlihat tidak masalah. Bukankah dengan begitu, alur ceritanya akan benar-benar berubah?

Setelah saat itu, alur cerita dari novel ini benar-benar berubah. Beberapa saat setelahnya, Jennette memberitahuku kalau Athanasia kabur dari Obelia. Awalnya aku sangat panik karena jika Athanasia pergi, dia tidak akan merasakan siksaan atau apapun itu. Tapi, takdir kembali berpihak padaku.

Beberapa tahun setelahnya, kakekku alias raja Siodonna pergi ke Obelia menggunakan kereta kuda sederhana, dia tidak banyak berbicara dan hanya mengatakan suatu hal yang membuatku terkejut.

"Putri kedua Obelia adalah saudarimu, kakek akan segera menjemputnya sekarang." Ucapnya.

Terkejut? Tentu, aku sangat-sangat terkejut. Karena di novel, aku menulis bahwa Athanasia hanyalah putri dari seorang penari biasa, dan bukanlah putri dari putri mahkota Siodonna. Apalagi, di istana tidak ada satupun lukisan Diana, ibu Athanasia.

Dan juga, darimana kakek tahu bahwa Athanasia adalah cucunya? Dia bahkan tidak pernah keluar dari istana dan hanya berdiam diri di dalam kamarnya.

Aku tidak menemukan jawabannya sampai Athanasia tiba di Siodonna, namun bersamaan dengan kedatangan Athanasia, aku juga menemukan jawaban dari pertanyaan ku itu.

Ada seorang pria yang datang bersama Athanasia. Orang yang pernah aku temui di istana kakek, pria dengan manik mata merah ruby yang hampir tiap minggu datang ke Siodonna dan dengan bebas keluar masuk kamar kakek. Aku kira dia hanya tokoh figuran, aku bahkan tidak menyangka bahwa perannya lebih dari itu.

***

'Pria bernama Lucas itu— orang yang berperan besar dalam berubahnya alur cerita novel yang ku buat... penyihir sialan.'

Padahal aku sudah merencanakan segalanya dengan sempurna, dari mempercepat kemunculan Jennette ke istana, sampai menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh Athanasia saat kami sedang berburu.

'Tapi semuanya gagal karena si penyihir itu!'

"Apa sih yang sedang kau pikirkan?" Jennette bertanya membuatku berhenti memikirkan masa lalu.

Aku mengalihkan pandanganku pada Jennette yang tengah memandangku dengan tatapan bertanya-tanya, "Tidak ada." Jawabku.

Jennette terdiam sebentar dan kembali berbicara, "Menyesal pun percuma, kita sudah sampai disini." Ucapnya.

"..."

"Lagipula, bukankah kau bilang akulah pemeran utamanya? Pemeran utama itu tidak akan pernah kalah." Lanjutnya.

Aku meminum anggur yang tadi kubawa, menghela napas lalu berbicara. "Kau benar... pemeran utamanya itu kau, tidak akan ada yang lain selain dirimu."

Jennette tertawa, "Ucapan dan pikiranmu berbeda." Ucapnya.

Saat aku hendak berbicara, Jennette berbicara mendahuluiku.

"Jangan bilang kau menyesal karena memilihku, bukannya Athanasia?" Kau takut bahwa kau akan mati karena bersamaku?"

Tidak diberi kesempatan untuk menjawab, Jennette terus berbicara.

"Atau jangan-jangan kau berniat untuk mengatakan semua yang telah kau lakukan pada Athanasia dan mengatakan bahwa kau diancam atau dihasut olehku?" Ucapnya memprovokasi.

Harusnya aku tidak termakan omongannya dan terprovokasi, tapi aku yang emosi pun malah terprovokasi.

"Tidak, dari dulu aku sudah berkali-kali mengatakan padamu bahwa aku tidak menyesal!" Tanpa sadar Aku meninggikan suaraku.

Jennette tersenyum puas, "Hey, jangan berteriak. Bagaimana kalau nanti ada yang dengar?" Ucapnya.

"Sial." Gumamku.

Setelah terdiam sebentar, Jennette kembali berbicara, "Jadi, apa rencana mu kali ini?" Tanyanya.

"Apa lagi? Kita lakukan rencana terakhir." Jawabku.

"Kau serius!?" Ucap Jennette hampir berteriak.

"Ya."

"Lagipula semuanya sudah dipersiapkan sejak dulu, kan? Kita punya keluarga Alpheus, Athia, dan juga keluarga Vito. Lalu, temanku dari negara lain juga ikut berpartisipasi." Ucapku.

"Oh, apa akhirnya orang yang kau sebut sebagai teman di akademi itu berhasil menjadi pemimpin keluarga? Orang bernama Lucia itu?" Tanya Jennette.

Aku mengangguk, "Ya, dia melakukan semua yang aku katakan dan akhirnya berhasil menjadi pemimpin keluarga di usia muda." Jawabku.

Jennette tertawa, "Kau memang hebat." Ucapnya.

"Jadi, kapan kita akan melakukannya? Bulan depan? Besok, atau--"

"Tunggu sebentar." Ucapku memotong perkataan Jennette.

"Ada apa?" Tanya Jennette.

"Dari tadi aku merasakan aura lain yang tidak asing, ternyata ada tikus yang sedang menguping pembicaraan kita, ya?" Ucapku lalu berbalik menatap pintu balkon.

"Keluarlah."

Makasi buat yang masih baca, ily (≧▽≦)

Change Destiny || WMMAPWhere stories live. Discover now