Bab 3. Berusaha Move on!

415 143 27
                                    

Keira

Aku teritimidasi di bawah tatapan tajam Tiana. Aku mendengkus resah. Berulang kali aku berusaha membuatnya mengerti, namun Tiana tidak perna mau mengerti. Dia membuatku sera salah. Aku masih terluka. Masih berada dalam fase 'belum siap membuka hati'.

Dua minggu teralu dini untuk melupakan Natan. Dia cukup susah digantikan. Bahkan selama dua minggu ini aku masih menitikan air mata untuknya. Yang artinya aku masih sangat mengharapkan Natan. Tapi, Tiana terus memaksaku untuk menerima Rio. Padahal itu adalah konsekuensi besar yang harus aku tanggung jika sampai menerima Rio. Tetapi tetap, Tiana sama sekali tidak mau mengerti.

"Ayolah, Kei. Rio, sudah tergila-gila padamu sejak lama. Sebelum kau mengenal lelaki brengsek tak berhati itu." Tiana berkata sewot. Mukanya saja sudah dimasamkan sedari tadi saat aku tidak menanggapi serius ucapannya perihal Rio yang mana ingin mengajak berpacaran.

"Kau tahu kan, Ti? Cinta tidak semestinya dipaksakan." Aku menanggapinya dengan lembut. Berharap dengan begitu Tiana akan mengerti.

Tiana menarik napas panjang. Dia menjawabku dengan cara yang paling menyebalkan, desahan keras mendahului perkataannya."Ya, aku tahu. Tapi lambat laun cinta itu akan tumbuh asalkan kau mau menerimannya. Jika begini terus, aku anggap kau masih mengharapkan sih brengsek itu." Aku tertegun. Secara logika Ya, aku masih mengharapkan cintanya di mana aku sadar dengan betul bahwa tidak gampang menggantikan Natan yang telah duduk lama dalam hatiku. Meski begitu, kata Tiana ada benarnya. Lambat laun aku bisa melupakan Natan asalkan aku mau membuka hati untuk lelaki lain.

Aku menatap sendu. "Tapi perlu kau tahu, Ti. Rio taman mainnnya Natan. Berhubungan dengannya sama halnya akan semakin mendekatkan kami. Lagi pula ada konsekuensi yang akan aku tanggung." Aku memberitahu. Tiana justru menyempitkan mata, menggeleng kesal. Dia sama sekali tidak percaya. Lain darinya, aku justru takut. Natan bukan lelaki yang suka menjilat ludahnya. Namun aku harus mempertimbangkan lagi hal itu karena Natan sudah menjilat ludahnya dengan berhianat padahal Natan selalu berjanji akan membawa hubungan kami kejenjang serius tanpa melibatkan orang ketiga. Faktanya, Natan tetap berhianat. Bukankah Natan sudah menjilat luduhnya sendiri?! Sepertinya aku harus mempetimbangkan ajakan Rio. Barangkali dengan menerima tawaran itu aku bisa betul-betul mematikan Natan dalam hatiku.

Tiana berkata lebih sewot. Bahkan sampai mengentak-entakan kaki saking kesalnya."Ayolah, Kei. Ini konyol. Kamu percaya ancaman gilanya? Ini tidak benar. Itu mustahil. Mari bertaruh. Dia hanya menggonggong tanpa berani menggigit." Tantangnya penuh percaya diri. Tapi aku yang gelisah. Aku kenal Natan lebih dari itu. Namun aku patut mencobanya.

"Baiklah. Aku akan mencobanya." Kataku kemudian dan Tiana tersenyum senang. Bertepatan dengan itu suara bariton menginterupsi. "Hai." Seketika kami melirik bersama ke arah sumber suara. Tampak Rio yang telah berdiri di depan kami.

"Umur panjang." Gumam Tiana sambil cengar-cengir kerena yang baru saja diomongin tiba-tiba muncul.

Tiana menoleh ke arah Rio. "Haiii ..... " Seyumannya mengembang. Seperti yang diharapkan.

"Boleh gabung?" Rio bertanya sambil melihat pada kursi di sebelahku. Dia memberikan senyuman terbaik.

Aku melarikan mata, Tiana tampak senang. Sementara aku diliputi kecanggungan disaat ini juga.

"Ya, silahkan." Tiana mempersilahkan dan dengan perlahan dia memiringkan kepala lalu berbisik"Ambil kesempatan ini. Lupain lelaki hidung belang itu." Segera setelah mengatakan hal itu Tiana buru-buru berdiri. Aku melihat dalam kebingungan. Dalam hati aku menyumpahi Tiana jika memang dia berniat meninggalkan aku dan Rio."Aku permisi sebentar. Ada sesuatu yang harus aku urus." Kata Tiana undur diri.

WISHES [END]Where stories live. Discover now