Bab 5. Berharap bisa melupakan!

331 122 23
                                    

Keira

Setelah hari itu, aku memutuskan pergi. Aku menghilang selama 6 bulan. Itu pun aku mengambil cuti. Selama masa cuti berlangsung aku memilih menghabiskan waktu ke sebuah kota kecil yang cukup jauh dari jangkauan Natan.

Semua itu tidak lepas dari Tiana. Ya, dia yang merekomendasikan padaku agar menghilang sementara dari jangkauan Natan. Lebih-lebih saat Tiana tahu perihal pelecehan yang Natan lakukan padaku.

Sebetulnya, aku ingin pulang kekediaman orang tuaku. Namun, aku sedikit ragu. Begitu pula Tiana. Bisa saja, Natan akan menemuiku di sana.

Ya, mungkin aku dan Tiana yang terlalu berharap lebih. Faktanya selama dua minggu berpisah tidak ada dalam sehari dari 14 hari dia mencariku.

Di sana aku bekerja sukarela di sebuah toko. Coba tebak toko milik siapa? Tentu saja milik Tiana. Sederhananya, toko milik Pamanku karena Tiana sama sekali tidak menyumbangkan sepeserpun untuk Toko ini selain menghabiskan anggaran. Dan ya, aku hanya ingin mencari kesibukan dengan mengalihkan tekanan pikiran dengan menjaga toko dibanding berlarut-larut sakit. Alhasil ide ini sedikit efektif.

Selama di sana aktivitasku hanya begitu-begitu saja, datar. Dan dalam bulan ke dua dari perkiraan masa cuti. Ada seorang pria yang berhasil membuat hariku sediki sibuk hingga sejenak aku melupakan rasa sakitku. Dia Ridwan. Seorang dokter tampan yang sering berkunjung ke toko di mana tempatku bekerja.

Berturut-turut dia datang. Membuatku sibuk hanya untuk melayani permintaannya. Membuatku hanya fokus padanya. Seakan duniaku perputar untuknya. Dan hal itu sangat membuatku risih.

Seperti dugaan dia kembali berkunjung. Setiap kali dia datang aku selalu merasa kesal.

Aku menatap jengkel. Pasalnya aku seperti seterika yang kerjanya mondar-mandir gara-gara melayani permintaan recehnya. Ambil ini. Ambil itu. Begitu lagi. Begitu lagi. Begitu lagi. Lagi. Lagi. Lagi dan aku cape.

Syukurnya pemasukan yang akan aku dapati banyak. Hanya saja dia terlalu semena-mena. Mentang-mentang uang banyak dia dengan seenak hati memerintahku. Ya, itu sebetulnya tidak apa-apa karena sudah menjadi tugasku. Tapi, caranya sedikit salah. Seharusnya sekalian saja dia menyebutkan semua kebutuhan belanjaan supaya aku tidak mondar-mandiri. Masalahnya belanjaanya tidak sedikit. Banyak! Terkadang aku heran. Mau dia apakan semua belanjaan itu?

"Kamu sengaja?" Aku bertanya dingin, wajahku datar dan tentu saja tidak ada jejak senyuman.

Selama ini aku diam. Tetapi, tidak untuk hari ini. Dia sangat menjengkelkan. Aku sudah tidak bisa menampung tumpukan kekesalan selama kurang lebih dua bulan. Itu bukan waktu yang singkat dan aku tidak ingin mengambil resiko buruk di mana aku akan terkena darah tinggi kalau keterusan berpura-pura tenang dan sabar. Akibat sering menahan amarah kadang tengkukku rasanya pada tusuk-tusuk semua.

Dia mengedikan bahu bingung namun dia tetap mengupayakan memberikan senyuman terbaik.

"Aku tidak butuh senyuman. Akupun bisa tersenyum. Hihii ....." Aku tersenyum tanpa ekspresi. Jelas, itu terpaksa dan respon yang aku dapati malah semakin membuatku makan hati.

Dia tertawa.

Demi Tuhan.

Dan sebagai pengalihan rasa kesal aku memejamkan mata.

"Saya seperti melihat malaikat maut dalam senyuman itu," Komentarnya, mengatup bibir ketika melihatku memasang tampang marah.

"Hati-hati strok ringan. Kamu masih muda!" Dia kembali berkomentar.

Aku memelototi dia."Apa aku sedang meminta komentarmu? Silahkan ambil barangmu dan pulang." Aku menyimpan kasar barang belanjaan pada meja kasir setelah dia melakukan transaki.

WISHES [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora