Bab 9. Berteman dengan luka?!

234 72 31
                                    

Natan.

"Kita perlu bicara." Kataku, menyambar lengan tangannya ketika menemukan Kei yang tengan berdiri pada Teras samping yang tak jauh dari dapur.

Keira terkejut namun aku tidak memperdulikan hal itu. Dengan cepat aku menyeretnya kearah kamar tamu.

"Jaga sikapmu." Bentaknya, melepas paksa tanganku dan dia melirik penuh ancaman.

Aku menarik diri mundur selangkah sambil mengangkat kedua tangan. Dan setelah itu aku mengembangkan senyuman luka."Apa tidak ada cara lain untuk melukaiku selain mendekati Ridwan?" Aku berkata Marah. Aku bukan pengendali diri yang baik ketika itu menyangkut hati.

Dia menatap sambil tersenyum sumbang."Apa yang kamu pikirkan? Kamu pikir tindakanku ini semata-mata hanya ingin memanas-manasimu dengan melibatkan kakakmu?" Dia membalas marah.

Pertanyaan macam apa ini? Tentu saja itu yang sekarang terkonsep dalam benakku, bahwa kedatangannya semata-mata hanya ingin memanas-manasiku. Lebih-lebih dia begitu sangat mencintaiku.

"Ya." Sahutku dan setelah itu aku meraup wajah gusar ketika dia mentertawakan perkataanku.

"Dengar. Aku bukan pengecut yang sukanya melukai banyak hati. Aku selalu menghargai hati yang memperlakukan hatiku kurang lebih sama. Mana mungkin aku berani melukai nya. Aku tidak perna sekalipun berpikir untuk melukai siapapun dengan cara kotor seperti dugaanmu. Aku disini karena tulus mencintai kakakmu. Cintaku murni." Tekannya.

Dadaku mendidih. Aku cemburu dan marah setelah mendengar dia berkata seperti itu.

Ya, aku tahu, segala cintanya tulus dan murni. Tapi kenapa justru Kei harus mengatakan hal menyakitkan ini padahal ucapanku barusan adalah alasan untuk menutupi lukaku yang mulai membesar. Namun kini semakin membesar.

"Tapi, disini aku merasa terganggu." Marahku.

"Itu bukan urusanku." Bilangnya, menatap acuh.

"Tetap ini sudah menjadi urusanku. Aku minta jauhi Ridwan." Kukuhku.

"Haa." Dia berdisis remeh. "Apa perduliku? Sekarang dia prioritasku. Jangan jadi pagar yang akan memisahkan kami karena itu percuma. Kami saling cinta. Ketika disitu ada cinta, maka tidak akan ada jarak pasti yang mampu memisahkan kami."

Dan disinilah jarak itu hadir. Akulah yang akan menjadi jarak antara Kalian. Sebisa mungkin aku akan memisahkan kalian sampai pada akhirnya kamu akan kembali padaku.

Dia berpaling dan sebelum dia betul-betul pergi aku menahannya dengan pertanyaan dan dia berhenti.

"Kenapa kamu selalu membangga-banggakan cinta 3 tahun kita yang menurutmu begitu
hebat kalau nyatanya sekarang kamu lebih membanggakan cinta 6 bulanmu? Menurutmu mana yang paling kuat dan hebatnya? Cinta 3 tahun kita ataukah cinta 6 bulan kalian?"

Dia tertegun, meresapi pertanyaanku dan dia berbalik badan perlahan, menatapku dalam.

Sejenak dia menunduk kemudian diangkatnya lagi dengan sebuah senyuman."Tergantung siapa yang bisa membuatku membanggakan cinta itu. Aku tidak mengukur cinta dengan seberapa lama atau bahkan manakah yang paling hebat?, melainkan siapa yang saat itu mampu membuatku bangga karena ketulusan cintanya."

Sekakmat.

Aku tak sanggup berkata-kata selain mentertawakan kebodohanku. Aku sungguh kehabisan stok kalimat.

Aku menunduk sesaat sambil memainkan lidah pada bibir bawah. Setelah itu aku mendongak, tersenyum menyeringai kearahnya"Sudah aku peringatkan, bukan? Jangan muncul dihadapku. Apa kamu lupa, Keira?" Dan aku menemukan dia terperangkap dibawah kekuasaan ku.

WISHES [END]Where stories live. Discover now