#14 : Keluarga

2.6K 181 3
                                    

◃───────────▹


Rayan menghentikan motornya di pekarangan rumah dimana kakaknya tinggal dan dirinya tinggal selama enam bulan ini. Bibirnya meringis saat lukanya mengenai helm yang ia kenakan.

Pikiran dan suasana hatinya benar-benar kacau. Selama perjalanan mengantar Kayla pulang, mereka hanya diam, membiarkan angin yang mengisi selama perjalanan.

Menyadari Kayla yang murung tentunya membuat Rayan kepikiran. Kayla pasti malu, entah marah, kesal atau sedih karena lagi-lagi terbawa dalam permasalahan yang ia buat. Rayan benar-benar merasa bodoh sebab bisa masuk dalam jebakan Aldi. Andai saat itu ia bisa menahan emosinya, masalah ini tidak akan terjadi dan tidak menambah beban pikirannya.

Mengetahui ada bukti rekaman video dari awal perkelahiannya sudah membuat Rayan yakin jika ini di rencanakan oleh Aldi. Namun pikirannya yang saat itu sedang kacau, tidak bisa menebak dan mendeteksi permainan murahan ini.

Dan mau tidak mau, sekarang ia harus menerima hukumannya. Ah, rasanya sudah lama ia tidak di skors karena selama kurang dua bulan ini ia hanya membuat kegaduhan kecil yang hukumannya hanya sebatas lari, hormat, membersihkan tempat tertentu dan lainnya. Lagipula senakal-nakalnya anak di luar sana, mana ada yang mengharapkan skors apalagi ... surat panggilan orangtua, bukan?

Disinilah puncak permasalahannya. Ia bingung. Siapa yang harus ia mints untuk pergi ke sekolah? Haruskah Rayan meminta antara dua orangtuanya itu? Sementara ayahnya sudah pasti tidak bisa, selama mereka bersama saja tak pernah beliau menginjakan kaki di sekolahnya. Rayan bisa saja meminta ibunya untuk datang ke sekolah, tapi apakah ibunya mau?

Tenggelam dalam lamunannya, Rayan tidak menyadari jika mobil putih telah parkir di samping motornya. "Loh Dek, kamu kenapa?"

Rayan tersadar dan menoleh ke sumber suara. "Eh, Kak Rena," sapanya menyalimi tangan kakak iparnya.

"Itu kenapa luka-luka?"

Rayan memasang senyum seperti biasa. "Biasa darah muda."

Kak Rena menggeleng. Adik iparnya terlalu bodoh untuk mencoba membohonginya, jelas terlihat matanya seperti menjelaskan Rayan tengah menyimpan banyak beban.

"Kamu berantem lagi?"

Rayan tak menjawab, hanya memberikam cengiran kudanya. "Ngeri banget Kakak liat wajah kamu Ray. Ayo cepet masuk, Kakak obatin."

Rayan menggeleng. "Gak usah Kak. Udah di obatin kok ini."

Kak Rena terdiam sebentar, memperhatikan luka-luka yang telah mengering itu. "Syukur deh kalo udah di obatin, yaudah ayo masuk ngapain malah diem aja di sini."

"Eh ... Ini Rayan mau ke rumah temen."

Kening Kak Rena mengerut. "Loh kirain baru sampe, kamu masih seragaman gini."

"Iya males ganti. Yaudah Rayan pamit Kak." Kak Rena menahan tangan Rayan setelah menyaliminya. "Kamu lagi kenapa-napa 'kan?"

Rayan dengan cepat menggeleng. "Rayan oke. Gak kenapa-napa."

"Terus kenapa gak mau nginep di rumah?"

"Kata siapa? Nanti Rayan pulang kok, tapi agak maleman."

Bucin Berandal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang