51. Kepercayaan

194 47 10
                                    

Sejenak, gadis itu melupakan segala hal yang terjadi hari ini. Meremas rok sekolahnya pelan, sebelum seorang cowok mendekatinya dan duduk di sebelahnya.

"Rin, lo--"

"Gue lagi pengen sendiri, lo pergi aja, Ze." Arin tahu, kalo cowok itu hanya ingin menenangkannya saja bukan membantunya mencari jalan keluar dari masalah ini.

"Tapi--"

"Please."

Zean menghembuskan napasnya kasar, sebelum pergi, cowok itu menyampaikan sesuatu.

"Gue percaya kok, kalo bukan lo yang ngelakuin hal itu ke sahabatnya Lingga. Walaupun gue belum tau siapa pelaku aslinya." ujarnya seraya melangkah menjauh dari gadis itu.

Lagi dan lagi, gadis itu merasakan getaran hebat dalam hatinya. Sepertinya benar apa yang di katakan Lingga tempo lalu, hatinya ini masih sepenuhnya di isi oleh Zean.

Tapi mau bagaimana pun, Arin akan tetap membuktikan ke Lingga bahwa dirinya-lah yang melakukan hal keji itu pada Nata. Dan soal hubungan Lingga dan Nata, Arin sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkannya. Toh, udah jadi mantan.  Meski ada sedikit rasa penasaran dan kecewa yang menghinggapi lubuk hatinya.

****

Langkah gadis itu terhenti ketika pergelangan tangannya di cekal oleh Lingga yang kini menariknya untuk menjauh dari UKS.

"Mau lo apa sih?" Lingga bersuara.

"Mau mastiin kalo Nata baik-baik aja,"

Lingga berdecih sinis."Cih, peduli lo? Bukannya lo seneng ya dia begitu?"

"Ngga, lo ngomong apa sih? Aku datang ke sini itu mau jenguk Nata." Arin ikut kesal dengan perkataan Lingga.

"Dia masih pingsan, itu kan yang lo mau?" Cowok itu menyugar rambutnya kasar."Alasan lo ngelakuin ini apa?"

Arin menatap dalam manik mata Lingga yang menyorot penuh amarah kepadanya. Gadis itu menertawai dirinya sendiri.

"Lo nggak percaya sama gue? Gue bener-bener bukan yang ngebuat Nata kayak gitu, Ngga."

Sepertinya Lingga sungguh menghilangkan rasa kepercayaannya kepada Arin. Dia selalu saja memojokkan Arin yang di duga penyebab kondisi Nata seperti itu.

"Gak sama sekali, mending lo balik."

"Oke kalo itu yang lo mau."

Gadis itu bergerak meninggalkan tempat ini dengan perasaan sedih dan benar-benar kecewa.

Sementara itu, Lingga berjalan pelan mendekati brangkar yang di tempati oleh Nata.

Gadis itu tiba-tiba terbangun dan menggenggam tangan cowok yang kini tengah menatapnya.

"Ta, masih ada yang sakit nggak?" tanya Lingga begitu khawatir.

Nata menggeleng, ia memposisikan dirinya duduk dengan punggung yang ia senderkan di dinding UKS.

"Jangan banyak gerak," Lingga mengelus punggung tangan sahabatnya.

Nata menjauhkan tangannnya dari Lingga."Ngga, sorry gue ngerepotin lo mulu."

"Iya, gak papa."

"Jangan terlalu keras sama Arin ya?" pinta Nata.

Mendengar nama gadis itu, wajah Lingga berubah menjadi datar."Dia yang bikin lo begini, Ta. Gak bisa di biarin gitu aja."

"Tapi dia bukan pelakunya. Bukan Arin, Lingga. Dia malah yang nemuin gue, dia yang nolongin gue. Andai aja dia gak dateng, mungkin keadaan gue akan bertambah parah sih." ungkap Nata membuat Lingga terdiam di landa rasa bersalahnya terhadap Arin.

"Gue juga gak mau gini terus, Ngga. Gue kayak ngerebut lo dari Arin tau gak? Gue merasa bersalah banget sama Arin." lanjutnya.

"Lo gak salah, gue yang salah, Ta."

"Lebih baik, lo jauhin gue dulu ya? Beberapa waktu aja. Gue pengen hubungan pertemanan lo sama Arin baik-baik aja, jangan kayak anak SD yang pas udah jadi mantan malah saling benci." kata Nata di akhiri kekehan.

****

Gadis dengan balutan dress mini tanpa lengan itu kini tengah mencak-mencak sedari tadi.

"Ah, berisik banget lo, El." keluh Karin dengan menutup kedua telinganya. Sebenarnya, dia bukan protes tentang keberisikan itu, hanya saja dirinya bosan mendengarkan temannya yang menpermasalahkan tentang Arin, Arin, dan Arin. Setiap saat. Muak bukan?

"Lo berani sama gue?" kesalnya.

"Bahas yang lain napa, El."

Elva mengibaskan rambut bergelombangnya."Gak ada, pokoknya gue benci banget sama Arin."

"Dari tadi lo ngomong benci mulu? Alasannya apa?" tanya Karin memberanikan Arin.

"Zean peduli lagi sama cewek sialan itu, gue tebak dia pasti yang gatel sama pacar gue. Ah, pokoknya gue kesel bangeett. Dari dulu dia bikin gue muak." ujarnya dengan mencibik sebal.

Karin menghela napas."Wajar aja peduli, dia kan temenan sama Arin, El. Positif thinking aja, oke?"

"Gak gue gak bisa!"

"Dengan sikap lo yang kayak gini, lo itu bukan benci sama Arin. Tapi lo takut tersaingi." ceplos Karin.

Mata Elva melotot tidak terima."Sialan lo! Mana ada seorang Elva takut kalah saing sama modelan kayak Arin? Beda jauh, tsay."

"Jangan ngomong macem-macem deh, lo." Elva menatap dirinya lewat pantulan cermin kecil yang ia pegang.

"Iya, maaf-maaf."

Gadis itu tersenyum manis ke arah cermin, lalu meletakkan benda itu di atas meja.

"Gue gak akan pernah ngebiarin Zean di rebut lagi sama dia. Hal yang udah jadi milik gue, gak akan gue lepasin." ucapnya terdengar penuh penekanan membuat Karin terdiam cukup lama.

"Tapi kalo udah takdir--"

"Gak, gue akan berusaha dengan cara gue sendiri."

"Gue dukung lo, asal jangan aneh-aneh."

Elva mengangguk."Gak bakal."

"Dan satu lagi, janji sama gue jangan melibatkan nyawa seseorang, bisa?" tanya Karin hati-hati. Jujur, Karin sedikit ragu untuk mengajukan pertanyaan itu kepada temannya.

Lawan bicaranya tersenyum tipis, di akhiri gelengan kepala pelan."Soal itu...gue gak bisa janji. Sorry."

****

gimana part ini? coba komen-->

udah ketebak belum alurnya?

kira-kira apa hayo yang akan di lakuin Elva?

Spam next di sini-->

btw, doain aku ya guys supaya pas kelulusan nanti nilainya sesuai ekspetasi🤗😥

see u kalian🖤

For You, Ex! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang