part 1

1.1K 52 6
                                    

"Molen ini ada yang isiannya kacang hijau, coklat sama keju. Mau yang mana? Harganya sama semua." Remaja lelaki berusia 15 tahun tengah menjelaskan ketika pembeli menanyakan onde-onde yang menjadi primadona jualannya.

"Yang kacang hijau sama cokelat saja. Lima ribu." Seorang ibu akhirnya memutuskan setelah berpikir sesaat.

"Lima ribu satu varian atau lima ribu kacang hijau sama cokelat?"

Sebagai penjual, Damar, lelaki dengan kulit sawo matang dituntut untuk sabar menghadapi pembeli dengan berbagai keinginan juga isi dompetnya. Setelah mendapatkan informasi apa yang akan dibeli, tangannya dengan cekatan mencapit onde-onde dan memasukkan ke kantong plastik. Begitu terjadi pertukaran, dia menyimpan uang di tas pinggang dan segera melayani pembeli lainnya.

Jam paling sibuk terjadi pada pukul enam kurang sampai pukul delapan. Jam sembilan, pembeli sudah mulai berkurang. Sisanya dia lebih banyak istirahat seraya menghitung uang penjualan. Saat itu dia bisa minum teh hangat yang biasa dipesankan Pak Wahyudin untuknya dan menikmati kue jatah. Hanya dua buah, terserah memilih apa. Dan itu lumayan mengisi perut yang keroncongan. Bahkan jika dia mencomot lebih, bosnya tidak akan tahu. Namun, dia tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan. Terkadang jika tidak lapar sekali, mengambil pun tidak dilakukan.

Waktu merangkak siang. Para pedagang lainnya sudah mulai membenahi barang. Yu Siwi yang berada dekat Damar dan berjualan tempe benguk sudah memasukkan sisa daun pisang ke dalam tenggok. "Aku ana turahan sithik iki tempe benguk e." Dia berjalan mendekat, memberikan tempe benguk yang dibungkus daun pisang pada Damar.

"Matur nuwun, Yu." Damar membungkuk, menerima dengan senang hati. Tentu saja karena akan ada lauk untuk makan siang. Dia meletakkan di bawah meja jualan.

Menjelang pukul sebelas, Damar mulai menata kue basah yang tinggal sedikit setelah menghitung uang penjualan.

"Mar, iki ana kentang." Yu Sri yang sudah memasukkan sayuran jualannya ke kios melambaikan tangan ketika Damar hendak kembali ke kios Pak Wahyudin.

Damar yang baru berjalan beberapa langkah, sontak menuju los Yu Sri yang agak jauh dari tempatnya. Sembari membawa boks kue di depan, dia menerima dengan senyum getir. "Suwun, Yu."

Jika dia bisa, sudah pasti akan membeli sayuran yang terbaik. Bukan mendapatkan percuma dengan kualitas yang di bawah, tetapi mau bagaimana. Uang hasil kerja kerasnya harus disisihkan demi biaya sekolah atau membeli beras. Jadi untuk sekarang, tidak masalah. Dia tidak boleh cengeng. Yang terpenting perut bisa terisi.

Berjalan menuju kios kue Pak Wahyudin yang jauh lebih besar dan berada di luar pasar. Dia meletakkan setumpuk boks kue lalu kembali lagi dengan kontainer yang berisi keripik.

"Pak, ada antaran kue gak?" Damar memberikan tas pinggang pada Pak Wahyudin yang memberi isyarat untuk menunggu.

Kios Pak Wahyudin jauh lebih besar juga komplit, bahkan buka sampai sore. Di bagian depan ada etalase yang memajang aneka kue basah. Sangat higenis karena tertutup oleh kaca. Debu dan lalat tak akan bisa masuk. Masuk ke dalam, ada meja yang dipakai Pak Wahyudin sebagai tempat kasir atau bercengkerama dengan pembeli.

Dua buah showcase juga tersedia di dekat etalase, salah satu menawarkan minuman yang menggoda. Sedang satunya untuk menyimpan kue yang biasa menjadi pesanan. Di bagian belakang kios, ada sebuah ruangan yang dijadikan untuk membuat kue pesanan. Saat pagi sang istri yang bertugas menjaga kios dan siang kembali ke rumah, sedang Pak Wahyudin yang menyiapkan pesanan.

Pak Wahyudin memasukkan beberapa lemper ke dalam plastik juga menyerahkan sepiring nasi campur. Dengan isyarat tangan meminta Damar untuk duduk di dalam. "Makanlah dulu. Habis itu antar pesanan."

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now