27.

402 44 4
                                    

Damar baru saja selesai menata barang dagangannya dan berniat membalikkan ke kios Pak Wahyudin, tetapi panggilan dari Yu Sri seketika membuat tubuhnya terhenti sesaat.

"Pripun, Yu?" tanya Damar saat Yu Sri sudah berada di hadapannya dengan terengah-engah seolah habis lari maraton. Padahal jarak dari los ke lapaknya hanya beberapa meter saja.

"Iki, jare Satria gak buka hari ini. Temannya ada yang meninggal, jadi libur."

"Oh, nggeh Yu. Matur nuwun info ne."

"Yowes nek ngunu. Nggo istirahat wae nang umah." Yu Sri langsung berbalik lagi menuju losnya, bersiap pulang.

Beruntung Damar belum pergi, jadi bisa tahu informasi yang diberikan dari Satria jika hari ini pencucian tutup. Mau bagaimana lagi, Yu Sri adalah penghubung.

Jika tidak teringat Pak Kasman, uang yang dikumpulkannya ingin dibelikan ponsel dengan harga murah. Asal bisa berkirim pesan juga melakukan panggilan. Dia tak mau merepotkan Yu Sri terus menerus.

Sesampai di kios, dia meletakkan boks juga kontainer yang berisi sisa kue. Pak Wahyudin menghampiri dengan yang dua puluh ribu di tangan. Sudah tak ada tugas mengantar lagi karena tahu Damar bekerja di tempat lain.

Setelah berbasa-basi sebentar menjawab pertanyaan Pak Wahyudin, Damar langsung pamit pulang.

Menjejak jalan Parangtritis, dia menyadari Tuhan telah menjawab doanya kemarin. Untuk memastikan apa yang diperbuat oleh adiknya selama dirinya pergi. Dia berharap bukan hal yang ditakutkannya lagi.

Langkahnya semakin cepat dan tiba di rumah lewat Duhur. Namun, rumah masih dalam kondisi sepi juga terkunci. Danu belum pulang sekolah atau bisa jadi main ke rumah Ridwan atau Habibi.

Baru saja duduk mengedarkan pandangan setelah kembali dari mengecek pintu belakang, suara Mbok Dharma membuatnya langkahnya mendekat ke rumah permanen yang berada di seberang rumahnya.

"Kok tumben wes balik?" Mbok Dharma berdiri di ambang pintu.

"Iya, Mbok. Hari ini libur kerja di pencucian. Danu kok belum pulang, Mbok? Biasa jam berapa balik?" Padahal adiknya sendiri, tetapi dirinya tak tahu jam berapa pulang. Payah memang.

"Wingi rada sore, koyo ne dolan. Kathok e juga teles, mungkin dus-dusan ro kanca ne. Goleki kana!"

Seketika dia terkesiap. Celana basah, pasir yang diyakini dari pantai. Ah, dia harus tenang dan berpikir positif. Siapa tahu hanya kebetulan.

"Iya, Mbok. Tak tunggu sebentar, kalau ndak pulang baru tak cari."

"Po ngenteni kene nang njero?"

"Mboten sah, Mbok." Damar pamit undur diri dan kembali ke depan rumah, menunggu di kursi kayu yang sudah lapuk. Diperhatikan bunga kertas yang mulai layu karena tak pernah disiram. Lalu angin berembus sepoi, menyibak rambut juga dedaunan sekitar rumah. Suasana khas saat siang hari.

Entah sudah berapa menit terlewat, Danu juga belum terlihat batang hidungnya. Damar mulai gelisah. Kecurigaan mulai menjadi-jadi. Namun, untuk memastikan dia akan pergi ke rumah Ridwan atau Habibi. Siapa tahu adiknya sekedar main game dan lupa waktu.

Perlahan dirinya meninggalkan rumah menuju kediaman Ridwan. Di bawah terik matahari yang menyengat, dia tak peduli kulitnya terbakar. Pun dengan debu yang beterbangan saat angin berembus.

"Bu, Danu apa di sini?" tanya Damar sesampai di depan rumah Ridwan. Tanpa basa-basi langsung mengutarakan pertanyaan begitu melihat ibunya Ridwan tengah membalikkan jemuran nasi sisa.

"Gak ada. Sudah lama Danu gak main ke rumah. La pie?"

"Oh, kalau begitu boleh ketemu Ridwan?"

Wanita yang memakai daster berwarna biru muda lekas memanggil anak lelakinya yang berada di kamar, tanpa mempersilahkan Damar masuk terlebih dahulu.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now