part 6

555 43 0
                                    

Walau bersikap biasa, nyatanya Damar mengalami perubahan sejak kepulangan dari kota. Dia lebih banyak diam, tak secrewet sebelumnya. Tak jarang melamun.

Danu begitu heran, melihat sikap Damar yang tak seperti dulu. Tak memarahi kala keluyuran, juga bicara seperlunya. Ya, meski tahu kakaknya tipe irit bicara. Itu tak berlaku baginya. Dia tahu telah terjadi sesuatu, tetapi tak berani bertanya apa. Hanya bisa menebak-nebak mengapa.

Danu tak suka dengan perubahan sikap sang kakak dan berencana membuat kejutan. Teringat kapan hari menginginkan ayam, dia pun membuka celengan hasil kerja sebagai tukang suruhan teman-teman. Dan lekas menghitung jumlah yang tak seberapa.

Danu melakukan dengan cepat. Uang koin seratus, dua ratus juga lima ratus berjajar rapi layaknya bangunan tinggi. Mulutnya komat kamit menghitung ada berapa. "Wah tujuh belas ribu." Dia senang. Jumlah yang lumayan banyak untuk hasil kerja beberapa bulan ke belakang. Dengan ini dia bisa mendapatkan dua ekor ayam warna warni sebagai hadiah.

Mengambil kantong plastik di dapur, dia memasukkan koin ke dalam dan mengikat. Saat berjalan keluar rumah, matahari sudah menampakkan sinarnya. Tak mau membuang waktu, dia menutup pintu dan pergi. Langkah yang awalnya pelan kini berganti cepat hingga bunyi koin terdengar saling bergesekan.

Begitu tiba di pasar, dia celingukan mencari penjual ayam warna-warni yang pernah dilihat tempo hari. Biasanya berada di bagian depan, dekat gerbang. Dia harus segera menemukan dan yang paling penting, jangan sampai kakaknya tahu jika dia justru ke pasar dan belum bersiap ke sekolah.

"Berapaan ayamnya, Pak?" tanya Danu ketika sudah menemukan penjual yang dicari. Dia mendekat dan melihat bulu ayam yang menarik hatinya.

"Sepuluh ribu satu," jawab lelaki berusia 40 tahun dengan antusias. Walau tahu hanya melihat, bagi lelaki itu bukan masalah.

"Lima belas dua, ya?" Tentu Danu tahu cara menawar. Sudah sering kakaknya mengajak ke pasar dan melihat bagaimana para ibu-ibu mendapatkan harga sesuai keinginan.

Lelaki itu menatap Danu. Melihat tatapan yang memelas sebelum mengiyakan permintaan. Entah karena iba, atau sebagai jalan pembuka rezeki untuk lainnya.

"Warna apa?"

"Emping semua."

"Kalau emping itu yang kayak kerupuk." Walau komplain, penjual itu mengambil dua ekor ayam berwarna pink dan meletakkan di besek. Lantas menyerahkan pada Danu yang memberikan uang recehnya.

"La kok receh." Penjual itu membuka kantong plastik dan terbelalak.

"Adanya itu, Pak. Makasih, ya." Danu berlalu pergi. Dia tak peduli penjual itu memanggilnya. Yang penting sudah membayar. Namun, bukannya pulang. Dia berjalan dengan hati-hati membawa besek agar ayamnya tak melompat dan masuk ke pasar. Dari kejauhan, di sudut pasar, dia melihat kakaknya yang sedang melayani pembeli. Senyum merekah sebelum memutuskan pulang.

Di kedua tangan sudah ada anak ayam. Tentu dengan hati-hati membawanya agar tak sampai membunuhnya. Besek yang seharusnya dipakai dijadikan topi di kepala.

"Dari mana kamu, Dan? Kok belum siap ke sekolah?" Mbok Darma, tetangga depan rumah bertanya.

Langkah Danu terhenti seketika seraya menunjukkan ayam yang dibelinya. "Pasar, Mbok. Ayamnya lucu 'kan? Mau tak kasih buat Mas."

Wanita paruh baya hanya tersenyum. "Sudah siang. Cepat siap-siap."

Danu mengangguk dan masuk ke rumah. Diletakkan ayam berukuran sekepalan tangan di dapur. "Kamu di sini, ya. Gak boleh pergi-pergi. Nanti tak kenalin sama Masku."

Danu bangkit dan mengambil nasi satu sendok. Dibaginya dua sama rata. "Makan yang banyak, ya. Jangan sampai mati." Dia mengelus bulu ayam yang lembut sebelum ke kamar mandi. Menyiapkan air untuk minum. "Aku gak punya susu, air putih saja, ya. Prihatin." Setelah semua siap, dia segera bersiap.

"Wah, telat." Danu cepat-cepat memakai sepatu ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit. "Jaga rumah ya, ayam."

***

"Pak, kalau mau ke kota ajak saya lagi, ya." Entah keberanian dari mana akhirnya Damar mengatakan permintaan selepas mengantar barang.

Pak Wahyudin yang baru saja menerima uang pembayaran menoleh keheranan. "Lututmu saja belum kering sudah minta diajak ke kota lagi. Mau ngapain memang?" Tentu dia penasaran apa yang diinginkan Damar.

"Mau cari sesuatu buat Danu, Pak." Damar harus mencari alasan yang tepat dan Danu adalah jawaban. "Mau cari crayon Danu yang bagus buat lomba tujuh belas Agustus."

Pak Wahyudin menghela napas. Ya, dia tahu Danu memang pandai mewarnai juga menggambar. Bakat yang diturunkan oleh ayah mereka sebagai guru honorer pelajaran seni rupa. "Iya, besok tak ajak lagi. Tenang saja."

Damar tersenyum karena berhasil meyakinkan, walau hatinya juga kebat-kebit karena sejak peristiwa di kota, terus saja memupuk kebohongan. Padahal bukan crayon yang diinginkan, melainkan membujuk ibu mereka pulang.

Pak Wahyudin menyerahkan uang hasil kerja. "Memang kamu tahu tempat yang jual crayon bagus?"

Damar gelagapan. Yang dilihat kemarin hanya sebatas motor yang ditumpangi ibunya. Bahkan saat kembali ke toko, tak ada yang diingat kecuali berapa belokan yang harus dilalui. "Kemarin sempat lihat toko alat tulis, cuma gak berani masuk." Sudah kepalang tanggung berbohong. Biar saja.

Pak Wahyudin mengangguk paham dengan keinginan Damar. Memang benar, sebentar lagi acara tujuh belas Agustus sudah pasti banyak lomba mewarnai. Sejak TK juga Danu sudah menunjukkan bakat dalam kesenian.

Damar mengambil jatah makannya beserta kue yang diberikan Pak Wahyudin. Setelah menerima uang pembayaran, tentu pulang. Memang mau ke mana lagi? Kegiatannya hanya berkutat di pasar dan rumah. Keluyuran layaknya remaja lainnya juga mustahil. Tak ada kendaraan di rumah. Sudah terjual semua setelah kematian ayahnya. Pinjam ke Pak Wahyudin pun sungkan.

Sampai di rumah sudah lewat ashar. Damar menduga adiknya keluyuran seperti biasa. Ternyata dugaannya salah. Danu membuka pintu dan langsung memberi pelukan.

"Mas, aku punya kejutan." Danu mendongak seraya melepaskan dekapan. Tangannya menarik tubuh Damar menuju dapur.

Terdengar suara anak ayam saat kain pembatas ruang tamu dan dapur disingkap. Lalu dua ekor anak ayam yang sedang makan tak jauh dari tungku kayu.

"Aku sudah beliin Mas ayam. Lihat lucu 'kan?" Danu mengambil anak ayam dan memperlihatkan pada Damar. Senyum terkembang bahagia.

"Buat apa kamu beli ayam, Dan?" Ekspresi keterkejutan tercetak jelas, apalagi melihat bulu anak ayam yang berwarna merah muda menyala.

"Biar Mas gak sedih lagi. Aku gak suka lihat Mas kalau gak ngomel." Danu mendekat. "Jangan sedih lagi, ya. Besok pasti ada cewek yang mau sama Mas kok."

Damar yang tadinya tersentuh justru harus menahan tawa geli. Dari mana pula dapat pemikiran jika dia habis ditolak cewek. Ada-ada saja. Dasar anak kecil.

Damar mendekat mengusap rambut Danu yang lepek, lalu bergantian anak ayam. "Kok bisa mikir Mas habis ditolak cewek sih."

"Itu katanya Ridwan. Biasanya kalau cowok nangis itu pasti karena cewek."

Damar tertawa kecil. Memang benar, yang membuatnya menangis adalah wanita. Walau dalam konteks yang berbeda meski sama-sama ditolak.

Damar memegang anak ayam yang seukuran kepalan tangannya lalu pandangan beralih pada Danu  yang begitu bahagia. "Kamu gak perlu melakukan ini, Dan. Uangmu kan jadi habis."

Danu menggeleng. "Tenang saja, Mas. Besok Dan menangin lombanya. Uangnya 'kan jadi ada lagi." Dia berjalan menuju meja, mengambil bolu kukus dan memakannya tanpa cuci tangan terlebih dahulu.

Meletakkan anak ayam, Damar ikut duduk. Dipandangi Danu yang makan dengan lahap. Sebuah helaan panjang keluar dari hidungnya.

Lalu pertanyaan tentang ibunya kembali berkelebat. Apakah materi yang membuat ibunya berubah? Rasanya tak mungkin. Bukankah orang bilang, ibu akan melakukan apapun demi anak mereka?

Dielus puncak kepala Danu. Sebuah tekad kembali menyala. Ya, dia akan kembali meminta ibunya pulang. Jika memang tak menemui kesepakatan, setidaknya menemui mereka sesekali saja. Agar adiknya tetap merasakan cinta. Perihal pernikahan kedua ibunya, biar dia saja yang tahu. "Ibu pasti pulang, Dan."


My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang