part 8

499 42 0
                                    

"Aku suka kalau sudah mau Agustus. Jadi banyak lomba mewarnai." Danu memecah pagi dengan ceritanya. Duduk di kursi makan, melihat Damar yang tengah memasak air. "Nanti juga ada lomba lagi, Mas. Aku yakin pasti menang lagi." Dia mengambil dingklik dan duduk di samping kakaknya. Mencari kehangatan dari api yang menyala.

Rumah mereka yang hanya berdinding anyaman bambu, membuat setiap pagi dingin menyelusup lewat celah. Jika bukan karena tuntutan dunia, Damar akan memilih bergelung di balik jariknya. Namun, sekarang dialah kepala.

"Maaf, Mas gak bisa nemenin." Damar menoleh. Ada penyesalan karena tak bisa selalu ada di saat hari-hari istimewa, seperti perlombaan. Padahal hanya dia yang dimiliki Danu sekarang.

Danu mengangguk paham. "Iya, gak pa-pa. Ada Bu Guru kok."

Keheningan memutus pembicaraan. Hanya suara kayu yang dilahap bara api juga kokok ayam yang saling bersahutan. Danu pun tersadar dengan ayamnya. "Ciko sama Ciki mana, ya?" Dia bangkit mencari ayamnya yang meringkuk dekat pintu keluar dapur.

"Mas, ini kenapa Ciko sama Ciki?" Danu membawa dua ekor anak ayamnya ke Damar. Dua-duanya dalam kondisi lemas.

"Mas udah bilang, jangan dimandiin. Mereka kan masih kecil."

"Tapi kemarin sudah tak angetin dekat tungku, Mas. Sudah kering bulunya. Semalem juga mau makan kok." Danu tak terima. Bukankah dia sudah melakukan prosedur yang benar? "Ciki makan, ya." Dia mengambil nasi dan memberikan pada anak ayam yang tak bersemangat itu.

"Ayo makan. Kamu harus besar, mau tak jual." Danu mengambil beberapa butir sisa nasi dan menjejalkan juga ke anak ayam satunya lagi. Berhasil, tetapi anak ayam kembali tak bersemangat. Melihat hal itu, dia mengambil air juga meminumkan secara paksa. "Nanti dehidrasi, minum."

Damar tertawa kecil mendengar ucapan adiknya. Kok bisa-bisanya kepikiran dehidrasi segala.

"Gimana ini Mas?" Sepagi itu Danu cerewet sekali, menanyakan apa dan mengapa anak ayamnya lesu. Lalu sebuah ide melintas. Diambil salah satu bajunya yang sudah kecil dan menaruh kedua anak ayam di atasnya kemudian diselimuti. Diletakkan di bawah meja. "Bulu kalian kurang tebal, ya? Nih pakai bajuku biar anget. Nanti tak tanyain gimana caranya biar kalian semangat lagi sama Pak Aji."

Damar kembali mengulas senyum geli. Hal sederhana seperti ini yang membuatnya bisa bertahan. Walau dunia yang dijalaninya terlampau keras, ucapan Danu yang polos bisa menjadi obat dalam kegetiran hidup. Lalu rutinitas pagi berlanjut seperti biasa. Damar ke pasar, Danu ke sekolah.

"Ayo ke kota," kata Pak Wahyudin ketika Damar mengembalikan boks juga sisa kue ke kios.

"Sekarang, Pak?" Damar memastikan tak salah dengar. Dia terkejut karena kemarin tak ada ucapan apapun kalau akan ke kota.

"Nanti jam dua, ada pesanan mendadak buat besok. Bahannya kurang. Sekalian saja stok buat minggu depan. Kamu antar pesanan dulu setelah itu tak ambil pick up." Pak Wahyudin memberikan kunci motor juga pesanan yang sudah disiapkan dalam kantong plastik.

"Tumben cuma sedikit, Pak." Damar menerima dan melihat alamat yang akan dituju. Tak terlalu jauh.

"Iya, makanya jangan lama-lama antarnya. Biar gak kesorean pulangnya. Nih, makan dulu." Pak Wahyudin mengambil sepiring nasi campur dan menyuruh Damar makan siang.

Damar menurut dan seperti hari sebelumnya, Pak Wahyudin memberikan kertas nasi untuk membungkus setengah makan siangnya. "Boleh saya pulang sebentar, Pak?"

"Buat apa?" Pak Wahyudin kembali duduk di kursinya. Tangannya sudah memegang pena untuk menulis apa yang akan dicari di kota nanti.

"Mau ambil duit--"

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang