part 7

516 44 0
                                    

Danu berlari begitu melihat Damar baru saja pulang. Sudah sejak tadi dia menunggu, bahkan rela di rumah tidak keluyuran seperti biasa. Jarak yang tadinya jauh kini mulai terpangkas. "Mas aku menang. Juara dua."

Damar hanya menjawab dengan sebuah senyuman. Tentu sudah menduga sebelumnya jika Danu akan menyabet gelar juara. Toh bukan yang pertama kalinya. "Kamu memang berbakat, Dan. Bapak pasti bangga."

Mereka berjalan bersisian dengan Danu yang melompat kegirangan lalu masuk ke rumah. Ditarik tangan Damar masuk ke kamar. Ingin segera menunjukkan uang yang didapatkan sebagai hadiah. "Lihat Mas. Uangnya banyak." Dia mengeluarkan amplop yang berada di tas dan memperlihatkan tiga lembar uang lima puluh ribuan.

Damar duduk di tepi dipan. Melihat raut wajah Danu yang begitu bahagia.

"Jajan yuk, Mas. Beli mi ayam."

Lagi-lagi hanya lengkung tipis yang menjadi jawaban. Sedang Danu sendiri mengambil celengannya. "Ini buat Mas." Dia memasukkan selembar uang lima puluh ribu ke dalam celengan yang terbuat dari botol minuman. "Yang ini buat Ibu." Setelah memasukkan satu lagi dan menyimpan celengan, dia mendekat. Memperlihatkan uang lima puluh ribu yang tersisa. "Ayok jajan, Mas." Tanpa menunggu persetujuan Danu menarik pergelangan tangan Damar, keluar.

"Gak usah, Dan. Buat kamu saja. Itu hasil usahamu."

"Gak pa-pa. Mas sudah sering bawain jajan kok. Sekarang gantian aku."

Padahal jajan yang dimaksud Danu adalah kue yang sering dibawanya dari Pasar, pemberian Pak Wahyudin. Hanya sesekali saja dia memberi uang saku. Itu pun tak seberapa karena adiknya akan mendapatkan gratisan dari teman-temannya. Walau lebih banyak diuangkan.

Mereka berjalan beriringan. Danu terus saja bercerita, mengenai perlombaan yang diadakan di sebuah sanggar. Walau ada begitu banyak saingan, dia tak pernah gentar. Dengan penuh keyakinan selalu mengatakan jika akan memenangkan lomba. Demi kakak juga ibunya.

Tiba di jalan besar, mereka segera menuju warung mi ayam yang berada di sisi kiri jalan.

"Mau beli mi ayam, Dan? Kok tumben. Habis menang lomba, ya?"

Penjual mi ayam yang memang tetangga desa, tentu sudah hafal dengan Danu. Bagaimana tidak? Terlalu sering keluyuran, dia sampai akrab.

"Iya, kok tahu kalau aku menang lomba?"

"Ya, tadi 'kan Ridwan cerita. Lagipula aku sudah hafal, kalau kamu beli mi ayam pasti habis menang lomba." Meski sambil meracik mi ayam pesanan. Lelaki itu terus saja berbicara dengan Danu.

Ah, ucapan penjual mi ayam itu justru seperti menyindir Damar yang tak mampu membeli saat hari biasa. Padahal sebenarnya juga bisa. Hanya lebih mementingkan dapur mereka agar tetap mengebul.

Yah, Danu memang supel dan mudah bergaul. Semua pasti lebih mengenalnya daripada Damar yang cenderung pendiam dan berbicara seperlunya. Hanya karena tuntutan kerja di pasar, dia bisa sedikit cerewet. Itu pun hanya dengan Danu.

"Nih, tak tambahi bakso. Gratis buat kamu."

"Wah, suwun Pak Danang. Yang banyak kalau boleh." Danu tertawa kecil.

"Bangkrut aku kalau banyak-banyak." Setelah mengikat plastik pembungkus, lelaki setinggi 160 cm menyerahkan pada Danu. Lalu transaksi mereka berakhir setelah menerima uang kembalian.

"Gak sopan ngomong kayak gitu." Damar menasehati Danu dalam perjalanan pulang ke rumah.

"Bapak-bapak sering ngomong kayak gitu. Katanya gak masalah." Danu masih saja membela diri. Bukankah dia cuma mengikuti omongannya orang dewasa? Memang salah.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now