25

461 43 0
                                    

Sejak kejadian kedatangan Pak Kasman, pikiran Damar dipenuhi berbagai prasangka. Bahkan terbersit keinginan untuk mencari tempat tinggal baru atau kost jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

"Mas, kalau kost daerah sekitar sini harganya berapaan, ya?" tanya Damar pada Indra yang asyik bermain game saat tak ada klien datang. Mereka duduk seraya menikmati semilir angin sore.

Indra menoleh, sorotnya ingin tahu mengapa mendadak Damar bertanya hal seperti itu. Dia mematikan ponselnya lalu memasukkan ke saku celana. Seraya menegakkan punggung, dia memberikan atensi penuhnya. "Kenapa?"

"Ndak, Mas. Tanya saja."

"Kamu mau ngekost?"

Satria yang berjalan mendekat, mendengar percakapan di antara mereka. "Siapa yang mau ngekost? Kamu?" Dia mengembuskan asap rokok dan turut duduk bersama.

"Cuma tanya saja, Mas."

"Bukannya kamu punya rumah?"

Beberapa bulan kerja membuat hubungan Damar baik dengan Indra maupun Satria cukup akrab. Apalagi jarak umur mereka terbilang cukup jauh. Pikiran juga lebih dewasa. Terkadang, saat senggang mereka saling berbagi cerita atau bertukar pikiran. Namun, sebagai orang yang lebih muda, dia lebih banyak diam dan mengamati. Padahal yang terjadi menjaga jarak. "Iya, Mas. Tapi tanahnya cuma numpang. Takutnya kalau suatu saat diusir."

Akhirnya, Damar mengutarakan kekhawatiran. Terkadang dia tak tahu harus berbagi dengan siapa. Danu masih belum terlalu paham. Jika pun dirinya membagi, yang ada adiknya akan bertindak berlebihan seperti membantu bekerja.

Satria menyesap rokoknya yang tinggal sedikit lalu menjatuhkan tepat di samping kakinya. Seraya menghela napas, dia menginjak puntung hingga tak berbentuk. "Kalau kamu sampai diusir, tinggal saja di sini. Anggap menjaga tempat pencucian. Nanti aku tidur di rumah."

Sebuah tawaran yang tak pernah diduga sebelumnya oleh Damar. Memang ruangan peralatan jauh lebih besar, karena telah disulap sebagai tempat tinggal Mas Satria. Sudah ada kasur juga kamar mandi walau kecil. Ada kalanya teman sesama pencinta modif motor datang menyemarakkan malam. Entah berkelakar, minum atau memberi sentuhan pada motor rekannya. Yang jelas urusan antar teman.

Sebelum membuka usaha pencucian, Satria aktif di komunitas pencinta motor di Jogja kota. Sering melanglang buana hingga akhirnya memutuskan kembali ke kampung halaman, membuka usaha pencucian motor karena tak memerlukan dana terlalu besar. Beruntung tanah yang dipakai sekarang adalah milik orang tua. Tak perlu membayar sewa.

"Iya, Mar. Kalau nge kost itu mahal. Limang atus ewu. Enthek duitmu muk nggo bayar umah."

Damar tercengang mendengar harga yang dikatakan. Lima ratus ribu baginya sangat banyak. Belum lagi harus mengurusi perutnya juga Danu. Namun, dia juga tak enak hati jika harus menerima kebaikan sekali lagi. Selain tanggung jawab yang besar menjaga tempat pencucian, juga meminimalisir untuk tidak merepotkan orang lain. Damar lupa, ada kalanya seseorang membutuhkan campur tangan manusia karena begitulah cara Tuhan bekerja. Lewat orang lain. Tentu apa yang terjadi padanya terjadi akibat ucapan Pak Wahyudin tempo hari. Yang menyadarkannya bahwa tak semua kebaikan selalu dibarengi ketulusan. Ada kalanya hanya saling menguntungkan.

"Sik murah ndak ada apa Mas?"

Pandangan Indra menerawang jauh, seolah mengingat. "Ana mungkin nek gelem golek i, tapi ya nggon ne biasa."

"Diomongi kon jaga kene wae kok. Rasah mikirke biaya ngekost. Akeh butuhmu." Satria menyandarkan punggung ke kursi seraya menatap Damar yang menunduk.

"Iya, Mas. Cuma tanya dulu kok."

Pembicaraan mereka terhenti, seorang klien datang. Dikarenakan Indra yang terakhir menangani, jadi giliran Damar yang langsung menghela napas lega. Setidaknya dirinya tak akan diinterogasi lebih lanjut. Mengenai pertanyaannya tadi.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang