16.

446 47 7
                                    

Danu membuka pintu rumah. Sepi seperti biasa. Berjalan menuju kamar, dia membuka jendela. Angin dari persawahan langsung memberinya sedikit kesejukan. Keringat yang membasahi dahi juga pelipis mulai menguap.

Sembari duduk di tepi kasur kapuk, dia membuka kancing seragam lalu berganti pakaian. Lemari yang pintunya copot sebelah berada tepat di dekat jendela. Jika menutup harus dinaikkan sedikit. Berukuran kecil dan hanya berisi beberapa lembar baju yang kebanyakan sudah pudar warnanya.

Berniat meletakkan seragam ke ember di belakang, suara ketukan membuat Danu berputar arah dan membuka pintu.

"Masmu mana?" tanya Pak Wahyudin yang berdiri tepat di depan pintu. Memakai kaos berwarna merah dan celana kain panjang.

Danu menatap bingung dan heran. Kok mah tanya sama dia yang baru saja pulang. Tidak salah apa?

"Masmu sudah pulang ta?"

Danu menggeleng sebagai jawaban. "Mas pulang sore, Pak. La emang Mas gak nganter pesenan apa kok Bapak cari ke rumah?"

Pak Wahyudin menghela napas panjang lalu menggaruk tengkuknya. Bingung bagaimana menjelaskan pada Danu yang ternyata tak tahu apa yang terjadi pada Damar. "Kemarin Bapak bilang gak perlu nganter lagi, tapi sekarang Bapak ada perlu. Benar Masmu belum pulang?"

Danu mengangguk. Ngapain juga harus bohong, 'kan dosa. Kenapa juga Pak Wahyudin seperti tak percaya dengannya. Malah berkali-kali celingukan ke dalam rumah.

"Oh, yowes." Pak Wahyudin langsung memutar tubuh, menuju motornya dan menghilang hanya dalam hitungan detik.

Sedangkan Danu masih terpaku di tempat. Kenapa dia tak tahu kalau kakaknya sudah tak mengantar pesanan? Apa kepulangannya tempo hari yang cepat itu karena baru saja dipecat dan mengatakan padanya jika disuruh istirahat. Ah, mengapa Masnya harus bohong? Mengapa tak cerita dengannya? Apa karena dia masih anak-anak yang tak paham? Atau Masnya tak mau dia berbuat seperti dulu, membantu mencari uang? Sepertinya begitu.

Menutup pintu, Danu kembali ke kamar setelah meletakkan seragam di belakang dan mengambil makan siang. Hanya sayur sop yang penuh dengan kol juga tempe goreng. Seraya mendengarkan radio yang berisi berita, dia makan cepat-cepat. Ada janji dengan kedua temannya untuk menemani membeli ikan cupang di desa sebelah.

Di depannya berjajar buku miliknya juga kakaknya yang sudah lama dibiarkan di tempat. Dia juga sudah diberi tahu untuk tak membuka karena akan memicu amukan. Namun, rasanya kali ini tak ada salahnya membaca. Toh, dia juga belum tentu paham. Hanya sebatas penasaran seperti apa tulisan kakaknya.

Diambil salah satu buku yang sudah lecek dan membukanya. Ya, lembar pertama hanya catatan pelajaran sekolah biasa. Tak ada yang aneh. Masih sembari makan, dia membolak balikkan semua buku milik Damar, hingga tangannya tak menutup lembaran terakhir. Di atas kertas, kakaknya menulis berbagai macam keinginan.

Target.
1. bulan depan beli sepatu Danu.

Ditulis berapa nominal yang harus dikeluarkan dan itu adalah harga untuk sepatu yang menurutnya bagus. Mengapa Damar tahu jika sepatunya sudah sobek bagian bawah? Padahal Danu diam. Baginya, selama bisa digunakan, dia tetap akan memakainya hingga benar-benar rusak.

2.Beli baju juga celana Danu.

Kunyahan Danu memelan. Mengapa harus membelikan baju juga celana untuknya? Kenapa tidak membeli untuk Damar sendiri? "Sempak Mas saja molor dan berlobang, gayanya mau beliin aku."

Lalu mata Danu berkaca. Hangat. Dibaca baris yang ketiga.

3. Beli sepeda Danu

Bahkan hal yang memang diinginkan oleh Danu pun diketahui kakaknya. Ya, dia menginginkan sepeda agar tak perlu berjalan kaki ke sekolah. Dia menginginkan agar tak lagi meminjam pada Ridwan atau teman lainnya. Agar dia bisa menjemput kakaknya pulang kerja. Tak masalah yang bekas.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now