36

456 41 0
                                    

"Kamu tinggal di mana sekarang?" tanya Satria saat Damar datang. Dia mendekat dengan wajah cemas begitu anak buahnya keluar dari ruang peralatan setelah memakai bots kerja.

Berita tentang pengusiran Damar sudah menyebar dengan cepat, bahkan ke tetangga desa. Saat Satria mendengar lalu tergesa mendatangi rumah yang sudah rata dengan tanah, waktu sudah melewati tengah malam. Tak ada siapapun. Hanya kesunyian. Itu pun dia harus lekas kembali ke rumah, mengurusi ibunya.

Damar menghela napas. Entah sudah ke berapa kali pertanyaan itu terlontar. Sejak menjejak di pasar, sudah tak terhitung kalimat bernada menegarkan diterimanya. Yah, memang bisa apa dia? Meratap? Hidup harus terus berjalan walau tertatih-tatih untuk melaluinya.

"Tinggal sama tetangga depan rumah, Mas." Damar tersenyum paksa agar tak membuat bos juga rekannya khawatir. Apalagi Satria juga tengah mengurusi ibunya yang sakit.

Kini mereka duduk bersisian di ruang tunggu yang kebetulan sepi pelanggan. Indra mengusap bahu Damar, seolah menegarkan anak remaja tentang kerasnya kehidupan yang dijalaninya sekarang. Menunjukkan sedikit kepedulian akan nasib yang menimpa. Sejatinya dia tak tahu harus mengatakan apa. Sabar? Tanpa mengatakan sudah pasti itu yang dilakukan Damar. Apa lagi memang?

"Kalau begitu kamu tinggal di sini dulu. Kebetulan Mbokku juga harus rawat jalan, jadi aku harus nemenin buat beberapa Minggu."

Damar terdiam sesaat mendengar penawaran kesekian yang diterima. Sudah sejak lama dia memikirkan. "Untuk sementara saya tinggal di rumah tetangga dulu, Mas. Sekalian mau cari kost yang murah."

"La ngapa kok mah golek kost?" Dahi Satria mengerut tak paham. Dikasih tempat tinggal gratis kok malah cari kost yang memakan biaya.

"Saya berangkat pagi, Mas. Subuh ke pasar. Takutnya Danu lupa gak nutup pintu ruang peralatan. Kalau gak ada barang mungkin saya mau saja menerimanya." Akhirnya Damar menjelaskan alasannya mengingat Danu memang sering tak mengunci rumah. Memang tak ada barang berharga, tetapi mengingat kebiasaan itu bisa berakibat fatal jika tinggal sementara di pencucian.

Satria menyandarkan punggung ke kursi. Paham alasan Damar menolak tawarannya. Memang benar yang dikatakan. Ada resiko yang harus ditanggung Damar jika menerima. "Ya, nanti biar ruangan tak ubah dulu. Daripada uangmu habis buat ngekost. Masa depan kalian masih panjang."

"Iya, Mas. Matur nuwun." Damar menutup pembicaraan karena ada klien yang datang.

Lalu waktu bergulir dengan cepat. Selepas bekerja, dia pulang ke rumah Mbok Dharma. Ada rasa sungkan saat datang dan menu makan malam sudah tersaji di meja, tinggal menyantap. Sudah lama tak pernah merasakan hal seperti ini. Sayang bukan duduk bersama dengan keluarga sendiri, tetapi orang yang menganggapnya sebagai keluarga.

"Gek mangan o, bar e istirahat. Danu nek meh ndelok tivi ojo ngasi bengi-bengi. Sok sekolah."

Namun, perlahan perhatian Mbok Dharma membuat Damar semakin tak enak hati. Maka selepas bekerja di pasar, dia menyempatkan diri mencari kost yang sesuai dengan kemampuannya. Setidaknya harga dua ratus atau tiga ratus ribu per bulan. Syukur bisa mendapatkan harga di bawahnya. Satu kamar pun tak masalah. Dibantu beberapa ibu-ibu di pasar yang mempunyai begitu banyak informasi, dia pun mulai menanyakan. Sayang hampir seminggu, tak ada kost yang sesuai harapan.

Walau di tempat Mbok Dharma makan diberikan secara gratis, tak jarang Damar membeli beras, sayur atau lauk sebagai gantinya. Karena saat dia mengulurkan uang sebagai uang sewa tempat tinggal, wanita paruh baya itu menolak.

"Maaf Mbok, saya cuma bisa ngasih ini sebagai ganti kebaikan Simbok. Nanti kalau saya sudah dapat kost, saya pasti pindah," kata Damar saat makan malam. Di hadapan sudah ada sayur labu siam. Ada krupuk juga tempe di meja.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang