33

480 44 0
                                    

"Uang dari mana ini, Dan?" tanya Damar ketika melihat uang dua puluh ribu tergeletak di meja ruang tamu. Belum ada setengah jam pergi membeli beras dan entah apa lagi yang dilakukan Danu sepagi ini.

Danu yang baru saja keluar dari kamar dengan membawa celengan, menarik tangan kakaknya untuk duduk bersama. "Oh, tadi itu Mas. Mbok Dharma kasih uang, karena kemarin aku mancing dapat ikan gabus. Terus dibeli deh. Katanya mau dikasih ke menantunya yang baru saja operasi."

"Kenapa gak kamu tolak atau diberikan aja, Mbok Dharma juga sudah sering kasih kita."

Tangan Danu memelintir uang agar masuk ke lubang celengan. "Mbok Dharma bilang buat aku saja. Ya udah, tak simpen deh."

Ah, pasti itu hanya alasan Danu saja.

"Besok-besok aku mau mancing ikan gabus yang banyak deh, terus kalau Minggu kita bawa ke pasar pagi-pagi. Dijual, kan lumayan." Danu begitu semangat, apalagi melihat celengannya sudah mulai berwarna dengan koin juga uang kertas.

"Kamu kok ngeyel sih, Dan. Dibilang gak usah cari uang kok."

"Yow gak pa-pa ta, Mas. Kan Mas sendiri sudah janji mau sekolah lagi, jadi aku juga harus rajin cari uang. Biar cepet kekumpul." Danu beranjak ke kamar, berniat menyimpan hasil tabungannya. "Mas ini gimana sih, dibantu kok gak mau. Captain America saja dibantu temannya, muni suwun kok aku malah diomeli terus."

"Kan Mas bukan Captain America, Dan."

Danu menyibak kain pembatas dan duduk di samping kakaknya. "Pokoknya kali ini Mas gak boleh protes!" Dia bersedekap dengan bibir mengerucut ke depan. "Lagipula gak enak kalau aku sendiri yang sekolah sedang Mas malah ketja."

"Tapi aku Masmu, orang yang lebih tua, Dan."

"Tetep saja! Pokoknya jika aku sekolah, Mas juga harus sekolah. Kalau Mas kerja, aku juga kerja. Titik."

"Dan, Mas gak mau terjadi sesuatu sama kamu kalau kamu ikut-ikutan kerja."

"Memang aku gak? Seharian nunggu Mas, aku juga khawatir tau. Apalagi kalau Magrib belum sampai rumah, aku tuh takut terjadi sesuatu sama Mas. Walau aku suka keluyuran, itu biar nggak kepikiran. Ngerti gak sih Mas ini." Danu mengomel panjang lebar lalu bersedekap.

Damar diam. Salahnya juga harus berjanji. Sekarang adiknya tak akan berhenti.

"Aku tuh maunya kita sama-sama terus, Mas. Paham gak? Berapa kali sih harus dibilangin."

Arga yang sedari tadi menguping pembicaraan dari balik bilik anyaman bambu, terpaku mendengar ucapan Danu. Ingatannya ditarik jauh ke dalam kenangan. Tak lama tubuhnya sudah berjalan menjauh.

***"

Damar keluar gang dengan beberapa renteng kripik di tangan kanan juga kiri. Langkahnya melambat melihat Arga keluar dari mobil dan berjalan mendekatinya.

"Danu gak di rumah, pulanglah! Aku harus jualan." Padahal apa yang dikatakan hanya kebohongan. Dia tak mau Arga datang ke rumah tanpa dirinya menjaga.

Lengkung tipis tercipta. "Aku ingin bicara denganmu."

"Saya rasa gak ada yang perlu dibicarakan." Damar melangkah pergi.

"Ini tentang Danu."

Seketika langkah Damar terhenti. Dia memutar tubuh, memperhatikan Arga yang sudah berkeringat padahal belum ada lima menit di bawah terik matahari.

"Di mana kita bisa bicara?"

"Bagaimana kalau ke pantai?"

"Baik."

"Masuklah ke mobil."

Damar menuruti perintah. Masuk ke mobil. Kali ini tak ada sikap waspada karena cukup yakin tak akan terjadi sesuatu padanya. Setidaknya bisa melawan. Hanya saja, dia sedikit heran dengan keinginan Arga.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now