37

497 54 0
                                    

Damar berulang kali melirik Indra yang sibuk dengan ponselnya. Saking gelisah, duduknya tak tenang. Sesekali helaan napas panjang keluar. Ada keraguan untuk bertanya hingga dengan segenap keberanian mengutarakan keinginan.

"Mas, boleh pinjam ponselnya?"

Indra yang baru saja bermain game, sontak menoleh. Dahinya mengerut dengan pandangan menyelidik. "Tumben. Mau buat apa?"

"Mau itu, Mas. Mau nelpon."

"Oalah. Ya udah ini." Tanpa mengajukan pertanyaan yang lain, Indra langsung menyerahkan setelah mengeluarkan aplikasi.

"Nanti saya ganti pulsanya, Mas," kata Damar saat menerima ponsel.

Indra mengibaskan tangan. "Wes gak usah. Nggon nen. Muk nggo telepon ta?"

Damar mengangguk, membenarkan dan bangkit. Berniat menelpon di tempat yang lain yang lebih privasi.

"Meh nandi? Telepon kene wae lo. Koyo ro sapa wae."

Damar yang sudah berdiri, terpaksa duduk dengan menjaga jarak. Diambil kertas dari saku celana. Lantas jemarinya mulai menulis nomor demi nomor hingga selesai. Berulang kali dia mencocokkan, seolah ada keraguan menyelimuti diri. Dipandangi beberapa lama hingga akhirnya menekan tombol panggilan.

Bunyi sambungan terdengar. Sekali, dua kali hingga akhirnya tersambung. Belum ada suara dari seberang panggilan, bahkan tanpa salam, Damar bertanya, "Apa penawaran Anda masih berlaku?"

Alih-alih mengatakan siapa dirinya terlebih dahulu, Damar justru langsung pada intinya. Betapa tak sopan dan lancangnya. Namun, dia juga sungkan jika meminjam ponsel terlampau lama.

Sesaat saja keheningan menjeda sebelum jawaban keluar. "Tentu saja. Aku akan datang secepatnya."

Tak ada ucapan terima kasih, karena Damar tak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Di antara senang, sedih, gamang. Semua bercampur aduk. Namun, semua bermuara pada satu rasa, lega saat mendengar jawaban. Tanpa aba-aba panggilan berakhir begitu saja. Damar masih bergeming dengan ponsel menempel manja di telinga.

Indra menoleh penasaran, mendengar percakapan singkat yang terjadi barusan. "Kok cepet men."

Damar tersadar dan segera mengembalikan ponsel seraya mengucapkan terima kasih.

"Telepon sapa mau?" Indra melihat nomor yang tertera di layar. Tentu saja dia tak akan tahu siapa. Hanya penasaran mengapa telepon terjadi dalam waktu singkat.

Damar sendiri bingung bagaimana menjelaskan hubungannya dengan Arga. Saudara bukan. Teman ... terlalu dekat, apalagi selama ini api permusuhan terus dinyalakannya. Orang lain juga terlalu asing.

"Oh, yowes nek gak gelem ngomong. Gak popo. Santai wae."

Satria ikut duduk bersama setelah meletakkan sekantong keripik singkong. "Mangan mangan."

Angin sore berembus, menyejukkan hati Damar. Wajah yang kusut setelah beberapa hari bergumul dengan berbagai pikiran, kini mulai terurai, pelan. Senyum yang meredup perlahan terbit kembali.

Ya, walaupun dia kehilangan keluarga yaitu ibunya. Tuhan telah menggantinya dengan yang lain. Memang tak sama, tetapi bukan berarti tak bisa bersama.

Lalu waktu melesat cepat. Entah mengapa beban yang dipikulnya seolah telah berpindah begitu mendengar jawaban. Dan kepercayaan telah diberikan sepenuhnya, pada seseorang yang mengatakan ingin menawarkan tempat bernama rumah. Yang sudah lama hilang esensinya baginya.

Begitu menjejak rumah Mbok Dharma, Damar sudah melihat sepatu milik Arga di teras. Dengan langkah penuh keyakinan, dia membuka pintu. Seketika pandangan dari orang yang duduk di ruang tamu tertuju padanya.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang