24.

447 48 4
                                    

Walau berusaha membiasakan diri, kenyataan Danu tak bisa menghalau rasa sedih yang mulai menghantui. Bagaimana tidak? Jika dulu harapan akan kepulangan ibunya terus menyala. Kini perlahan padam. Lalu hari-hari mendadak suram. Bahkan gelap.

Ada kalanya dia melihat ibu-ibu yang tengah memanjakan anak, lalu rasa iri menelusup dalam hati. Pertanyaan demi pertanyaan mengudara. Meski sesekali menguap kenyataan berubah menjadi tetesan air mata kala teringat bagaimana ibunya tak merayunya untuk tinggal bersama. Memanggilnya pun tidak.

Wajahnya tak lagi memancarkan keceriaan. Hilang tertelan kenyataan dunia.

Damar bukan tak menyadari. Justru tahu persis dengan perubahan sikap adiknya.

"Ayo mancing. Mas temanin." Bagaimanapun dia turut andil memberi luka pada adiknya. Yang dituntut memahami dunia dan cara kerjanya.

Danu menggeleng. "Nanti ikannya gak mau makan kalau ada Mas."

Damar berusaha keras agar adiknya kembali seperti semula. Semua hal dilakukan. Mulai dari mengajak memancing, membuatkan mi atau berbelanja di pasar. Nihil. Adiknya kepayahan menerima kenyataan jika ibu mereka tak akan pulang menemui mereka. Setidaknya itu yang dikatakan tempo hari padanya.

Sudah sebulan berlalu dan Danu masih belum ada perubahan. Ketika Damar pulang, sayup telinganya menangkap suara isakan. Kakinya bergegas berjalan setengah berlari menuju kamar, mendapati adiknya sesenggukan. Di sampingnya, radio tengah menyiarkan ceramah agama.

"Kenapa, Dan?" Raut cemas begitu kentara, melihat adiknya berurai entah oleh apa. Dia mendekat dan langsung memberi dekapan.

Danu terbata-bata hendak menjelaskan. Bahkan kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya yang tak karuan. Dia merentangkan tangan, meminta pelukan yang menenangkan. Tentu Damar menyambutnya walau raga begitu lelah selepas bekerja.

Dibiarkan Danu menangis, meluapkan rasa. Berharap esok akan lebih lapang dada menerima kenyataan di umur yang masih belia. Ya, butuh waktu tentunya. Juga bukan suatu hal yang mudah. "Dan, di dunia ini kita memang kurang beruntung karena tak memiliki keluarga yang utuh. Tapi kita beruntung karena masih memiliki satu sama lain. Mas gak akan ninggalin kamu. Tenang saja." Dia mengelus rambut Danu yang lepek karena keringat. Suara helaan napas panjang menandakan tengah terlelap karena lelah.

Hari berlalu Danu mulai menerima keadaan hidupnya. Apalagi melihat apa yang diperbuat Damar untuk membuatnya kembali seperti sedia kala. Dia sadar, tak hanya dirinya yang merasakan sakitnya tetapi juga sang kakak. Lalu senyum yang selama beberapa minggu hilang, kini mulai terbit. Doa yang dulu dipanjatkan untuk ibunya, mulai beralih. Tentu saja untuk kakaknya.

Di usianya yang cukup kecil, dia paham ibunya telah bahagia dengan keputusannya. Meski itu berarti ada rindu tak berujung yang harus ditanggungnya.

"Mas, jika Ibu sudah bahagia. Kita juga harus bahagia bukan?"

Damar yang sudah berbaring di ranjang, menengok ke arah Danu. Rasa bersalah menyeruak di dada. Membiarkan adiknya tumbuh dewasa jauh lebih cepat dari anak seusianya. "Ya, bahagia kita yang buat, Dan."

Danu memutar tubuh, memberi pelukan pada Damar. "Dan bahagia, Mas masih di sini."

Damar membalas pelukan adiknya lalu malam mengelus dada mereka dengan kelapangan juga rasa nyaman. Hingga matahari datang memberi rasa hangat pada jiwa yang beberapa hari menggigil kedinginan. "Aku sayang Mas."

****

"Mas, tolong ambilin celana dalamku dong. Lupa gak bawa," teriak Danu dari dalam kamar mandi. Dia mengintip dari balik pintu dengan wajah memelas.

Damar yang duduk di kursi sembari menyantap singkong rebus menoleh pada adiknya. "Kebiasaan."

Minggu pagi, jam baru menunjukkan pukul setengah tujuh. Masih terlalu cepat untuk mandi. Namun, tawaran Damar ke pantai membuat Danu sudah ribut seakan berlibur. Padahal nanti juga kembali berkeringat.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang