18.

438 42 0
                                    

"Kenapa bibirnya, Mas?" tanya Danu ketika Damar pulang kerja. Meski di bawah sinar lampu dapur yang temaram, dia bisa melihat warna kebiru-biruan di sudut bibir kakaknya.

"Oh, tadi Mas kepleset. Tangannya gak kuat nyangga, jadi kena wajah." Damar beralasan. Dia tak mau adiknya tahu apa yang terjadi padanya. Apalagi menceritakan.

Danu diam, duduk di samping kakaknya yang menyiapkan makan malam. Hanya tumis kacang panjang dan tempe.  "Yang bener? Bohong dosa lo. Nanti masuk neraka Mas."

"Iya, Dan. Mas tahu itu. Sudah cepat makan." Damar mengambil sayuran yang sudah matang dan meletakkan di piring. Uap panasnya mengebul membawa aroma nikmat.

Entah mengapa Danu mempercayai saja ucapan Damar lalu mereka makan dalam kebersamaan seperti hari-hari sebelumnya.

"Mas kok gak bilang kalau kerja di pencucian motor?"

Damar yang baru saja menyendok nasi menghentikan aktivitasnya sesaat. Lalu sebuah senyuman diberikan pada Danu untuk meyakinkan setelah menoleh. "Mas lupa, Dan."

"Lali apa nglali, Mas?"

"Lali Dan." Damar mengacak-acak rambut Danu.

Danu menatap Damar yang menyantap makan malam dengan lahap, lalu sebuah lengkung tipis menghiasi wajah. Ah, kenapa dia meragukan ucapan kakaknya? Bukankah di dunia ini yang paling dipercaya hanyalah Damar. Seharusnya dia bisa memahami hal itu. Lagipula memang kakaknya berangkat pagi dan pulang menjelang bahkan terkadang lewat Magrib. Belum lagi masak begitu di rumah. Hanya sedikit waktu yang dimiliki sekarang. Tak jarang Damar terlelap saat dirinya bercerita kegiatan setiap hari akibat kecapekan.

Ya, dia hanya sedikit iba melihat betapa kerasnya Damar bekerja untuknya. Tanpa mengeluh dan selalu mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Lalu sebuah tekad hadir dalam hati Danu. Dia juga akan memberi kebahagiaan untuk kakaknya. Tahun depan, harus kembali ke bangku sekolah.

Beruntung mendekati bulan Agustus, perlombaan mewarnai semakin banyak. Dengan sisa uang yang pernah didapatkan sebelumnya. Danu mengikuti lomba. Semua disapu rata. Tekadnya bulat. Jika menang, uang yang didapatkan untuk mengajak kakaknya ke pasar. Membelikan celana dalam dan sisanya akan disimpan. Tentu untuk sekolah kakaknya. Jika bukan dirinya yang memberi kebahagiaan, kapan lagi kakaknya akan memikirkan dirinya sendiri?

Sedang Damar sendiri justru semakin giat bekerja. Dengan peningkatan kemampuan mencuci motor, otomatis gajinya juga ikut naik. Walau masih sebatas dua puluh ribu. Baginya, itu jauh dari harapan. Apalagi jam kerjanya terbilang singkat.

Uang hasil menjaga lapak dipakainya untuk kebutuhan hidup sehari-hari sedang hasil mencuci motor disimpannya untuk membelikan keinginan Danu yang selama ini belum dikabulkan. Walau tak jarang juga terpakai entah oleh apa. Harapannya hanya satu. Adiknya bahagia dan perlahan melupakan ibu mereka. Bukankah mereka sudah terbiasa tanpa kehadirannya?

"Mas, aku bosan lomba mewarnai. Pengen menggambar."  Bukan tanpa alasan Danu mengatakan keengganan mengikuti lomba mewarnai, tentu karena hadiah lomba menggambar yang jauh lebih menggiurkan.

"Tunggu tahun depan, Dan. Kalau kamu sudah kelas empat bisa ikut lomba menggambar."

Danu tahu alasannya. Bu guru wali kelas juga sudah memberi tahunya. Namun, dia tak bisa menunggu lebih lama lagi.

"Mas, besok Minggu gak jaga lapak 'kan? Kita ke pasar yuk. Uangku sudah lumayan banyak. Bulan ini aku menang lima lomba."

"Ngapain? Sudah uangnya buat kamu jajan saja."

"Cariin Mas sempak. Udah molor semua 'kan? Jangan sampai nanti pas cuci motor terus mlotrok." Danu terkekeh kecil membayangkan.

Mendengar ucapan Danu, Damar menahan tawa geli. Memang benar yang diucapkan Danu mengenai celana dalamnya, tetapi dia rasa tak perlu membeli karena masih bisa dipakai.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang