part 3

707 46 0
                                    

"Besok gak usah antar pesanan, ya. Ikut aku ke kota. Cari stok bahan kue."

Ucapan Pak Wahyudin membuat Damar yang baru turun dari motor setelah mengantar pesanan, mendadak tertegun sejenak. Dalam benaknya dipenuhi tanda tanya. Tak biasa. Ada apa gerangan? "Tumben Pak. Biasa sama nyonya."

Pak Wahyudin mengibaskan tangan dan berjalan mendekat. "Gak pa-pa, pisan-pisan ngajak kowe. Tetep tak gaji wes."

Damar memberikan tas slempang dan memberikan pada empunya. Sebelum kembali ke kios, dia juga sudah menghitung uang yang diterimanya. Sudah sesuai.

"Duduk situ dulu!" Perintah Pak Wahyudin otomatis ditanggapi.

Damar duduk setelah mengambil bungkusan plastik yang sudah disiapkan sebelumnya. Seperti biasa, setengah sisa nasi campur yang akan dimakan bersama dengan adiknya. Juga bunga tabur yang sengaja dibeli untuk ziarah ke makam ayahnya. Memberi persembahan doa. Ya, dia selalu melakukannya setiap hari Jumat, menyisihkan uang yang diterima setiap hari.

Pak Wahyudin sendiri sibuk menghitung uang. Tak biasa. Padahal selama ini hampir tak pernah, seolah sudah mempercayakan pada Damar. Hanya beberapa hari ini memang terasa aneh. Bukan merasa kurang dengan uang yang diterima, justru lebih banyak. Meski hanya dua atau lima ribu.

"Ini kok lebih lima ribu?" tanyanya ketika sudah menghitung pada lembar terakhir. Dia menatap Damar yang menunduk.

"Tadi ada yang beri tambahan uang, Pak. Katanya ongkos. Saya bilang gak usah, eh malah maksa. Ya sudah, tak masukin situ sekalian." Damar menjawab tanpa keraguan. Dia tak mau kepercayaannya ternoda karena masalah uang. Bukankah uang memang bisa menghancurkan segala sesuatunya? Termasuk kepercayaan.

"Oh ... ngunu." Pak Wahyudin bangkit dan memberikan beberapa lembar uang hasil kerja keras Damar. Meletakkan di samping kiri tangan. "Lain kali kamu simpen saja. Gak usah dikasih ke aku. Nih, buat Danu."

Pak Wahyudin berjalan menuju etalase. Mengambil kantong kresek yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Berisi sisa kue yang tak terjual. Belum tepatnya. Namun, dia selalu memberikan meski hanya empat biji.

Damar bangkit, menerima kantong kresek dengan sungkan. Sudah terlalu sering dia mendapat kebaikan. Mereka memperlakukannya dengan baik. Ya, mungkin sekedar iba dengan nasib yang menimlanya, tak apa.

Damar pamit pulang, menyusuri jalan Parangtritis lalu masuk gang desa. Begitu tiba di perempatan, dia berbelok ke kiri. Menuju makam yang juga berada di pojok jalan, berdekatan dengan sungai Opak.

Jalanan sudah berganti bebatuan dan tak ada rumah warga. Berganti kebun yang ditanami pepohonan. Semilir angin membuat batang pohon pisang, ketapang juga randu bergoyang. Apalagi saat daun juga batang bambu bergesekan menimbulkan suara yang mengesankan suram juga angker. Namun, Damar terus berjalan. Menuju sebuah makam yang dipagari batu bata.

Damar menguluk salam saat tiba di depan gerbang. Berjalan di antara makam yang sudah tidak berbentuk. Bunga kamboja berwarna putih juga kuning berguguran di mana-mana. Aromanya menusuk hidung dengan wangi khas.

Dia berjalan hingga sampai di pojok makam. Beberapa bunga kamboja yang masih bagus tergeletak di atas. Bukan jatuh. Karena tersusun rapi. Juga ada bunga sepatu dan nusa indah. Tanahnya bahkan menyisakan basah. Ah, dia tahu siapa yang melakukannya. Tentu saja Danu. Siapa lagi.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now