part 5

624 51 1
                                    

Di bawah terik matahari yang membakar, keteguhan Damar tak meluluhkan sang ibu. Air mata pun sudah menguap. Beberapa tetangga sekitar hanya menatap iba lalu masuk kembali ke dalam. Membawa gosip baru untuk disebarkan.

Damar bangkit dan menatap rumah mungil bercat kuning di hadapan. Jendela kaca tertutup gorden biru. Tak ada apapun yang terlihat dari jangkauan. Hanya sayup-sayup suara bayi menangis yang tertangkap telinga. Benarkah ibunya sudah menikah lagi dan mempunyai anak? Meninggalkannya dengan Danu tanpa kepastian. Dia memanggil nama ibunya, lirih.

Jika tidak teringat Pak Wahyudin, dia akan bertahan lebih lama. Bahkan sampai malam di depan rumah. Namun, setelah memantapkan hati, langkahnya tertatih-tatih kembali menuju jalan yang dilewati tadi. Kedua lututnya lecet dan perih.

Begitu keluar dari gang, seketika hatinya diremas dengan kuat. Teringat kejadian yang tak pernah diduga. Sang ibu menolak dirinya. Rumor bahwa mereka telah ditelantarkan benar adanya. Meski dia menolak dengan kuat, memang begitu kenyataan. Kini otak dan hati tak karuan, beruntung masih ingat jalanan yang hanya beberapa kali belok.

Berjalan menyusuri trotoar, pandangan Damar kosong. Dia tak memperdulikan tatapan aneh orang-orang padanya, pun dengan rasa sakit di lututnya yang tak seberapa.

"Kamu dari mana? Kok jalanmu pincang?" tanya Pak Wahyudin yang berdiri depan toko dengan cemas. "Sudah setengah jam aku nunggu kamu." Nada suaranya menyiratkan cemas juga kemarahan.

"Gak pa-pa, Pak. Tadi cuma kepleset pas kesasar. Maaf sudah membuat Bapak nunggu." Damar menunduk seraya memundurkan tubuh agar Pak Wahyudin tidak melihat luka yang kebetulan tertutup celana kain. Ini hanya luka sepele dan mengering dalam beberapa hari.

Pak Wahyudin penasaran apa yang terjadi. Apalagi raut wajah Damar begitu berantakan. Namun, saat mendengar jawaban, dia memilih diam dan tak menanyakan lagi.

"Ya sudah, ayo pulang. Kalau kesorean, kasihan Danu, nanti cemas." Akhirnya Pak Wahyudin memutar tubuh menuju mobil pick up yang sudah penuh dengan karton.

Damar menurut dan masuk. Pak Wahyudin juga segera menstarter mobil.

Perlahan mobil bergerak menjauh dari toko bahan kue. Damar berusaha mengingat jalan yang dilewatinya tadi. Dia berjanji akan kembali untuk menagih janji.

Pak Wahyudin menengok pada Damar yang lebih banyak diam selama perjalanan pulang. "Kamu dari mana tadi?"

Damar tersadar sudah melamun dan gelagapan. "Ah, dari jalan-jalan saja, Pak. Tadinya mau ke Malioboro, tapi malah kesasar." Dia tertawa kecil agar lebih meyakinkan. Bagaimanapun, Pak Wahyudin tak boleh tahu mengenai apa yang terjadi.

Lelaki berkumis tipis itu memperhatikan raut yang ditunjukkan. Lalu pandangan beralih pada lutut Damar. "Lututmu kenapa? Tadi bilangnya kepleset."

Ah, lagi-lagi Damar gelagapan. Otaknya segera mencari jawaban yang sesuai. "Iya, Pak. Kepleset terus kejlungup kena aspal."

"Kepleset apa?"

"Sebenarnya bukan kepleset sih, Pak. Ada orang lari yang tiba-tiba dorong." Setidaknya bagi Damar, dia tak berbohong pada bagian mendorong.

Pak Wahyudin manggut-manggut tanda paham dan Damar bernapas lega karena interogasi berhenti sampai di sana saja. Belum ada satu kilometer, mobil menepi di bahu jalan. Tanpa banyak bicara, lelaki yang memakai kaos polo berwarna abu-abu itu turun, menuju apotek.

"Nih." Pak Wahyudin menyodorkan kantong plastik berisi obat merah padanya.

Damar tahu, Pak Wahyudin tak suka jika dia menolak pemberian. Jadi tak ada yang bisa dilakukan kecuali berterima kasih untuk kebaikannya kali ini.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now