part 4

598 46 0
                                    

Hal yang selalu dinanti Damar setelah kerja adalah ajakan Pak Wahyudin ke kota. Tentu saja selain karena penasaran seperti apa wujud kota yang selalu diceritakan, ada hal yang ingin dicarinya. Ya, sang ibu.

Walau dia tahu kemungkinan bertemu hanya sekian persen, tak ada salahnya berharap. Bukankah Tuhan akan mengabulkan segala pinta dan hanya ibunya yang selalu menjadi doa baginya. Apalagi dua tahun menanti tanpa kabar.

Hari ini memang tak ada pesanan. Sengaja dikosongkan oleh Pak Wahyudin dan diganti keesokan hari. Entah mengapa juga mengajak Damar tiba-tiba. Biasanya juga bersama istrinya.

"Kamu mau ajak Danu gak? Biar rame." Pak Wahyudin bersiap menutup kios. Dia menarik folding gate ke sisi kanan dan menguncinya.

"Gak usah, Pak. Nanti ngilang, repot saya."

Pak Wahyudin tertawa kecil. Memang dia tak terlalu dekat dengan Danu, hanya saja saat libur sekolah. Damar sering mengajaknya bersama. Sesekali saja bertemu karena seringnya mendadak hilang bak tuyul yang membuat panik dan kelimpungan mencari. Tak jarang sudah berakhir di rumah tanpa berpamitan atau pergi dengan orang tak dikenal. Yang ditakutkan hanya jika dibawa pergi orang tak bertanggung jawab. Apalagi sebelumnya santer terdengar berita penculikan anak.

Setelah memastikan pintu kiosnya tertutup sempurna, dia segera masuk ke mobil pick up dan menstarter. Roda mulai berputar dan berpindah ke aspal jalan Parangtritis.

"Kalau anakku masih ada, mungkin sudah sebesar kamu, Mar."

Damar mengiyakan ucapan Pak Wahyudin. Tentu karena dia memang tahu anak yang dimaksud. Walau dulu tak duduk di bangku sekolah dasar yang sama, pernah sesekali berpapasan di jalan. Sayang saat SMP, anak Pak Wahyudin terseret ombak pantai selatan. Membuat hati kedua orang tua nelangsa mengingat anak semata wayang.

Sampai sekarang, keberuntungan belum berpihak pada Pak Wahyudin. Berulang kali sang istri mengalami keguguran. Tentu karena faktor usia yang rawan mengandung.

"Padahal dulu aku berharap dia mewarisi kios."

Damar mengangguk paham. Yah, anak adalah harapan orang tua. Setidaknya itu yang selalu dikatakan juga padanya. Saat ayahnya masih hidup untuk menjadi kakak yang baik bagi Danu. Mampu memberikan contoh karena pada akhirnya sang ayah yang menjadi panutan justru meninggalkan mereka. Dengan beban juga tanggung jawab yang berpindah padanya.

"Kamu mau gak belajar buat roti?"

Ucapan Pak Wahyudin membuat Damar menengok. Apa benar dia tak salah dengar? Mengapa mau memberikannya ilmu padanya secara cuma-cuma?

"Katanya kamu itu pinter. Jangan sia-siakan otakmu."

Tentu Damar tak akan menyia-nyiakan ilmu yang didapat meski hanya sampai di bangku smp. Ah, tapi penawaran ini apakah benar-benar sebuah ketulusan? Terkadang dia tak bisa membedakan antara ketulusan dengan memanfaatkan. Walau dia cukup yakin dengan kebaikan hati yang selama ini diberikan padanya. Juga kesempatan kerja yang tak bisa diberikan sembarangan.

"Kok Bapak mau repot-repot ngajarin saya. Biasanya orang pintar itu kalau punya ilmu suka pelit berbagi." Damar berterus terang.

Pak Wahyudin tertawa. Kehidupan yang keras telah menempa Damar menjadi lelaki waspada. Bahkan padanya. "Sampai sekarang aku belum punya anak. Kalau mati gak punya amal jariyah. Siapa tahu lewat kamu bisa dapat."

Ah, Damar paham. Bicara soal agama tentu dia mengerti apa itu amal jariyah.

"Boleh, kalau Bapak gak keberatan."

"Gak, aku justru senang."

Lalu perbincangan di antara mereka terputus begitu saja. Pak Wahyudin cukup peka untuk tidak menanyakan ibu Damar yang sudah dua tahun tak pulang. Gosip simpang siur sudah beredar di masyarakat lama. Mengenai keberadaan kedua kakak beradik yang ditelantarkan. Ditinggalkan dengan dalih bekerja ke kota. Nyatanya, tak ada uang kiriman atau kedatangan untuk memberi kejelasan.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now