30

483 54 6
                                    

Bola mata Damar beradu dengan lelaki yang memakai kemeja dan duduk di ruang tamunya. Tatapan tajam diberikan sebagai bentuk kewaspadaan. Meski Danu mengiba untuk menurunkan ketegangan, tetap saja dia tak menggubrisnya.

Damar berjalan hingga berhadapan, lalu pandangan beralih pada makanan yang berada meja. Sepiring donat yang dari tampilannya saja mahal juga sepiring pizza. Aroma nikmatnya menguar. "Kami gak menjual iba, tolong bawa lagi apa yang Anda bawa."

Lelaki yang duduk itu sama sekali tak terkejut mendengar ucapan Damar. Sejak awal bendera perang memang sudah dikibarkan untuk melindungi orang yang dianggapnya berharga. Dia mendongak dengan kepercayaan diri yang luar biasa. Lengkung tipis langsung tercipta, tanda dia tak gentar menghadapi serangan. Hanya anak kecil biasa. Bisa apa?

"Siapa yang mengatakan jika kalian menjual iba? Bukankah kamu sendiri?"

Tak ada jawaban dari Damar yang merasa langsung mendapat serangan telak.

"Kenapa kamu harus semarah itu padaku? Apa kamu jengkel karena Adikmu tertawa denganku? Padahal aku datang hanya meminta sedikit kebahagiaan dari kalian."

Tentu saja Damar tak lantas percaya dengan ucapan lelaki dewasa itu. Dia menarik tangan Danu masuk ke kamar.

"Sudah Mas bilang, jangan ajak masuk orang gak dikenal. Apalagi sampai menerima makanannya."

"Tapi 'kan aku kenal, Mas."

"Kamu ini kalau dibilangin, jangan ngebantah kenapa?"

"Aku 'kan dengerin, Mas. Bagian mana sih aku ngebantah?"

Damar menghela napas, kesal. Salah ngomong. "Maksud Mas, kalau memang kamu dengerin, setidaknya apa yang Mas katakan harus dilakukan, Dan."

"Ya, tapi Mas juga jangan marah-marah. Gak semua orang itu jahat."

Di dalam kamar, Danu masih saja membela tamunya. Beranggapan hanya menagih janji gambaran. Tak lebih. Tentu hal itu membuat Damar semakin murka melihat betapa polos adiknya yang tak menaruh curiga.

Damar menyibak kain pembatas dan bola matanya kembali beradu tatap pada lelaki itu. Dia tak suka dengan kedatangannya, tetapi tak bisa berbuat lebih karena Danu terus saja membela. Tak ada jalan lain kecuali mengawasi.

"Meh nandi, Mas?"

Damar tak menghiraukan pertanyaan adiknya dan berjalan keluar rumah, berniat duduk di teras rumah Mbok Dharma. Namun, kenyataan justru kembali memutar lewat belakang. Duduk di dapur seraya menguping pembicaraan. Kali ini jangan sampai kecolongan.

Selama hampir dua jam, tak ada pembicaraan yang mencurigakan. Namun, Damar berpendapat jika yang dilakukan lelaki itu hanya untuk mengambil hati adiknya. Lalu ketika tamu itu pergi, Danu yang menyadari kakaknya di dapur, membawa sepiring donat juga pizza untuk dimakan bersama.

"Enak, Mas. Coba." Danu mengambil sedikit potongan pizza berniat menyuapi. Namun, Damar menolak dengan tegas. "Gak ada racun katanya, Mas."

"Dan, lain kali kalau dia datang. Kamu jangan bukain pintu."

"Tapi 'kan itu katanya gak sopan. Lagipula dia sudah datang dari kota, Mas. Mosok diusir. Kasihan, sudah Om-Om. Pasti capek juga."

Damar menghela napas panjang. Ini kali pertama dia bersikap sedemikian overprotektif. Dia tak mau kejadian yang sama kembali terulang.  Namun, yang terjadi minggu berikutnya lelaki itu kembali bertandang. Duduk seharian di ruang tamunya. Berbagi cerita dengan Danu yang sama sekali tak penasaran mengapa datang lagi padahal gambaran yang dijanjikan sudah diberikan.

Alasan hanya butuh teman bicara, membuat sudut bibir Damar terangkat kala menguping dari dalam kamar. Sangat tidak bisa diterima. Memang ke mana keluarganya? Atau istri juga anaknya. Menggelikan.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now