epilog

735 53 2
                                    

"Pak, kami mau pamit. Nanti kalau ada waktu, kita akan sering datang ke sini. Tenang saja, aku akan menjaga Danu dengan baik kok." Damar berbicara pada gundukan tanah bertabur bunga mawar yang aromanya memenuhi indera penciuman.

"Iya, Pak. Mas bakalan sekolah lagi, biar jadi guru kayak Bapak." Danu yang jongkok di dekat Damar ikut menimpali.

Damar menengok pada Danu yang tersenyum lebar. Lalu mereka bangkit, keluar dari areal pemakaman.

"Aku bakal kangen Ridwan sama Habibi. Terus juga bakal kangen mancing. Kangen banyak deh."

Damar terdiam. Ya, mereka akan meninggalkan kehidupan yang pernah dilalui selama di desa, karena hari ini Arga akan menjemput, membawa ke kota. "Jadi apa kita gak usah berangkat saja ke kota?"

"Jangan, Mas. Aku 'kan kangen berangkat bareng Mas ke sekolah. Yok lebih cepat, takutnya Om sudah datang." Danu menarik tangan Damar untuk berjalan lebih cepat. Padahal hari masih pagi. Embun masih tersisa di atas rerumputan. Matahari belum terlampau tinggi.

Damar mengikuti langkah adiknya, sesekali membingkai setiap tempat dengan kenangan yang pernah tercipta. Karena nantinya akan menyimpan di sebuah kotak bernama nostalgia.

Langkah kaki yang dulu penuh ketakutan juga kesedihan, kini berganti dengan harapan. Lalu tanpa disadari mereka sudah sampai di rumah Mbok Dharma. Arga yang baru saja datang dan tersenyum menyambut kedatangan kedua kakak beradik itu. "Apa kalian sudah siap?"

"Sudah, Om." Danu bergegas masuk, disusul Damar. Mereka mengambil tas juga koper yang baru dibelikan Arga beberapa hari lalu.

Arga menerima barang yang sama sekali tak berat. Hanya berisi medali juga beberapa baju lalu meletakkan di bagasi. Sengaja dia memarkir mobil di depan rumah Mbok Dharma, tak lagi di bahu jalan agar memudahkannya memasukkan barang.

Arga mendekati Mbok Dharma yang matanya sudah memerah. Buliran bening yang sedari tadi ditahan, akhirnya pecah saat wanita paruh baya mendekati kedua kakak beradik itu dan memberi pelukan. "Ngati-ati, Mar." Dia melepaskan pelukan lalu berpindah pada Danu.

"Makasih, Mbok. Kapan-kapan aku main," ucap Danu saat dekapan mulai mengendur.

Mbok Dharma menyeka air mata. Dipandangi beberapa saat kedua kakak beradik itu sebelum tatapan penuh harap ditujukan pada Arga. "Tolong jaga mereka."

"Tentu saja."

Dengan berat hati Danu dan Damar melangkah masuk ke mobil.

"Aku bakalan kangen sama Simbok," kata Danu seraya melambaikan tangan begitu kaca mobil dibuka.

Mbok Dharma tersenyum walau tangannya masih saja menyeka air mata. Lalu mobil bergerak perlahan. Baru beberapa meter, Ridwan dan Habibi muncul di pertigaan. Mereka berlari kecil di samping mobil seolah hendak mengantar kepergian.

"Kalau liburan main ya," kata Habibi.

"Tapi gak usah ajak Masmu." Ridwan mengimbuhi dengan suara yang masih bisa tertangkap telinga Damar dan Arga.

Danu tertawa kecil lantas melambaikan tangan karena mobil telah memasuki Jalan Parangtritis. Wajah yang tadinya berbinar kini berubah sendu. Pandangannya terus tertuju pada desa yang perlahan menjauh. Juga teman-temannya yang semakin mengecil.

Duduk di kursi depan, Danu menghela napas panjang begitu jarak semakin melebar. Pandangan kini beralih ke depan.

"Menangis saja kalau memang mau," kata Arga seolah tahu kesedihan yang menyelimuti Danu.

"Gak Om. Masih bisa main kapan-kapan kok. Cuma ... rasanya kayak mimpi saja."

Arga tersenyum. Ya, dia tahu perasaan yang dialami bocah itu. Seperti anak panah yang melesat, waktu bergulir dengan cepat. Perubahan terkadang datang tanpa pemberitahuan sebelumnya. Siap tidak siap harus bisa menerima keadaan. "Kalau begitu, bermimpilah yang indah."

Arga tahu mungkin kehidupan yang ditawarkan bukanlah mimpi indah, yang diinginkan kedua bocah itu. Namun, setidaknya juga bukan mimpi buruk.

Roda terus berputar, meninggalkan kabupaten Bantul menuju kota. Tak lama mereka telah sampai di Sleman. Memasuki perumahan yang bertuliskan selamat datang di bagian gapura, seolah menyambut kehadiran penghuni baru yang akan menetap untuk beberapa tahun ke depan.

Mobil terparkir di depan rumah. Arga turun diikuti Danu dan Damar. Setelah membuka gerbang, dia berkata, "Masuklah."

Danu dan Damar saling berpandangan untuk sesaat dengan senyum merekah, bahagia karena masih bersama. Tangan bergandengan dengan erat lalu pandangan kini beralih pada Arga yang berada di belakang mereka. Tak lama langkah penuh keyakinan tertuju pada rumah yang memberi harapan.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷 End 🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Terima kasih yang sudah mengikuti cerita ini. Tak bisa terungkapkan betapa bahagianya karena kalian sudah membaca juga meninggalkan jejak yang benar-benar membuat semangat ❤️🫰

Sebagai penetralisir bawang yang sudah bertaburan di setiap part, insyaallah akan ada ekstra part dengan judul new home.

Sekali lagi, terima kasih 😘

c.u di sekuelnya kalau gak males buat 🙈

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang