38.

612 54 2
                                    

"Mau ke mana, Mar?" tanya Mbok Dharma ketika melihat Damar dan Danu memakai pakaian terbaik yang dimiliki mereka. Ya, pakaian yang sudah dihafal akan dipakai jika bepergian. Sebenarnya hanya kaos biasa, perbedaan terletak pada warna yang tak memudar. Terjaga di dalam lemari dan jauh dari jangkauan paparan sinar matahari.

Dia melihat jam dinding. Padahal baru menunjukkan pukul setengah delapan. Apalagi hari ini Minggu. Mau ke mana?

"Mau jalan-jalan, Mbok. Mungkin ini jadi Minggu terakhir di sini."

"Jalan-jalan nandi? Tekan jam piro?" Mbok Dharma menginterogasi layaknya polisi. Sikapnya yang sedikit overprotektif memang tak berubah sejak kepergian ibu kedua kakak beradik itu.

Danu menoleh pada Damar yang tak kunjung menjelaskan lalu pandangan beralih pada Mbok Dharma. "Mau ke kota, Mbok. Ketemu Ibu." Damar langsung menyenggol lengan Danu agar diam.

Mbok Dharma tak menduga dengan jawaban. Raut keterkejutan tercetak jelas. Dia tak habis pikir, setelah ditelantarkan begitu saja. Tak ada kebencian yang ditampilkan, justru kerinduan dan rasa sayang. Ah, pasti ini karena sifat bapaknya yang menurun. Atau karena hati anak kecil yang belum ternoda dengan kebencian. Entahlah. Dia tak paham.

Walau begitu, dia juga tak bisa menghalau amarah, jauh di dalam hatinya tetap saja mengutuk perbuatan ibu mereka. "Buat apa?" Walau suaranya melunak, nadanya menyiratkan  ketidaksukaan.

"Aku cuma kangen saja kok, Mbok."

Mbok Dharma menghela napas panjang mendengar jawaban. Ini terlalu menyakitkan baginya. "Yowes, ngati-ati. Kamu tahu jalannya?"

Tak akan ada yang bisa menghentikan kerinduan seorang anak kepada ibunya.

Damar mengangguk lalu menggenggam pergelangan tangan Danu. Mereka keluar, menapaki jalan yang akan dikenangnya kemudian hari. Begitu sampai di halte, tak beberapa lama bus datang. Membawa mereka menuju tujuan.

Seperti sebelumnya, Damar sudah jauh lebih hafal. Sesampai di terminal Giwangan dan berpindah bus kota, akhirnya mereka menjejak Jalan Gandekan.

Damar menoleh pada Danu begitu turun dari bus.

"Kali ini apa yang ingin kamu berikan pada Ibu?"

Danu menoleh seraya terkekeh kecil, seolah apa yang akan dilakukan telah diketahui oleh kakaknya. Namun, tak ada jawaban yang keluar.

Pandangan Damar terus tertuju pada senyum Danu yang memudar dan sorot sendu yang terlihat jelas di iris hitamnya. Tak lama mereka meneruskan perjalanan. Selangkah demi selangkah menuju rumah yang selalu dinanti kehadirannya.

"Aku cuma mau kasih Ibu surat, biar gak khawatir lagi sama kita."

Damar terdiam mendengarnya. Khawatir? Dia bahkan tak yakin ibunya khawatir dengan keadaan mereka berdua. Buktinya selama dua tahun tak pernah datang atau sekedar menanyakan kabar. Namun, dia memilih diam dengan segala amarah yang berkecamuk dalam dada. Jika bukan Danu yang meminta, dia tak akan sudi datang hanya untuk melihat kebahagian ibunya. Mengapa? Tentu karena dia iri dan marah. Kenyataan dia tak bisa seikhlas adiknya, bahkan tak terima dengan perlakuan ibunya. Tapi dia bisa apa? Yang diinginkan sekarang hanya kebahagiaan adiknya. Tak lebih.

Langkah mereka terhenti. Di rumah yang kini begitu sunyi. Padahal kemungkinan waktu baru menuju jam sepuluh pagi. Masih terlalu dini untuk tidur siang. Di halaman tak ada motor seperti sebelumnya. Jendela tertutup rapat, seolah tak mengizinkan mereka mengintip kebahagiaan di dalamnya.

Danu berjalan memasuki gerbang, sedang Damar setia menunggu di luar. Tak lama ketukan terdengar. Sekali, dua kali, tiga kali. Keheningan menjawab salam.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now