22.

424 43 0
                                    

"Mas bohong!" teriak Danu seraya menyingkirkan tangan Damar. Dia berteriak histeris. Tak terima dengan ucapan kakaknya yang baginya penuh dusta. Bukankah selama ini selalu meyakinkan jika ibu akan pulang. Ibunya akan membawa banyak uang agar Damar bisa kembali sekolah sama sepertinya.

Damar tersadar lalu mendekap adiknya. "Iya, Mas bohong. Maafin Mas. Ibu akan pulang. Tenang saja." Melihat air mata Danu, membuatnya berubah pikiran. Seharusnya dia tak mengatakan. Bukankah adiknya terlalu dini untuk tahu apa yang terjadi pada mereka.

Namun, dia lupa ucapannya sudah tersimpan dalam benak. Sudah melukai hati yang selama ini berharap.

Danu menangis juga berteriak dalam dekapan. Memberontak seolah tak terima dengan ucapan yang dikatakan kakaknya.

"Iya, Mas bohong. Mas dosa, besok Mas masuk neraka." Lalu butiran air mata menganak pinak di pipinya. Beberapa menit hingga Danu mulai tenang. "Mandi dulu." Dia melepaskan dekapan, meminta Danu duduk di lantai semen sedang dirinya terus mengguyur juga memberi sabun agar warna cat menghilang.

Danu masih saja menangis, sesenggukan. Ketika acara mandi sudah selesai, Damar segera menggendong ke kamar. Membaluri dengan minyak agar tak kedinginan.

Namun, Danu tak bisa menghentikan tangisannya. Bahkan saat Damar menyodori dengan teh hangat. Air matanya terus saja keluar.

"Kenapa Danu?" tanya Mbok Dharma yang penasaran dan masuk ke rumah ketika mendengar tangisan Danu tak kunjung mereda.

"Mboten napa-napa, Mbok."

Mbok Dharma yang berdiri di ambang pintu kamar tidur, mendekat. Memberi pelukan pada Danu seraya mengusap punggung.

"Balik o kerja, ben tak urus e Danu."

Ada keengganan ketika harus menuruti perintah, tetapi memang benar dia masih mempunyai kewajiban. "Nitip riyen, Mbok."

Dengan isyarat mata, Mbok Dharma menyuruh Damar tak memikirkan dan kembali bekerja. Hanya tinggal beberapa jam, baginya tak masalah. Sebagai seorang ibu, dia yakin bisa menenangkan.

Damar beranjak kembali ke pencucian dan bekerja dalam diam, menimbulkan banyak pertanyaan di benak Indra juga Satria yang tak berani bertanya apa dan mengapa. Ketika jam kerja sudah selesai, dia juga bergegas pulang. Penasaran apakah adiknya sudah kembali seperti sedia kala setelah apa yang dikatakan.

"Danu turu. Kesel nangis. La emang kenapa mau?" Jiwa Mbok Dharma sebagai wanita meronta ingin tahu, apalagi sudah sangat lama Danu tak pernah menangis. Juga tak ada perkataan mengenai masalah yang di antara mereka.

"Muk tak seneni, Mbok." Damar tak sepenuhnya bohong karena memang memarahi adiknya.

"Ya ojo diseneni, mesak ke. Seh cilik."

Ya, Damar tahu. Tak seharusnya memarahi. Namun, terkadang dia juga bingung bagaimana menasehati. Ucapannya tak pernah digubris. Apa yang menjadi keinginan akan dilakukan demi mendapatkannya.

Dia pamit masuk dan melihat Danu tengah tertidur pulas. Dielus puncak kepala. "Maaf, Dan."

Berlalu ke dapur, dia segera menyiapkan makan malam. Hanya tumis sawi putih dan tahu. Begitu selesai, dengan segera membersihkan diri lalu membangunkan Danu untuk makan malam.

"Mas suap, ya."

Danu enggan beranjak bangun dan hanya menjawab dengan anggukan. Tak ada kata-kata yang keluar. Justru air mata yang berulang kali diseka. Suasana yang biasa ceria dan riuh, kini berubah sunyi dan tak menyenangkan.

Hanya empat suapan dan Danu enggan melanjutkan. Tak ingin berbicara dan justru kembali berbaring seraya memunggungi Damar. Tak lama suara isakan kecil memecah malam. Tangan yang sedari tadi di depan dada, berulang kali menyeka air mata.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now