12.

471 45 0
                                    

Keesokan paginya, saat bangun tubuh Damar seakan remuk. Seperti baru saja dipukul hingga babak belur. Apalagi bagian bahu juga begitu susah digerakkan.

"Sebentar tak ambil sarapannya, Mas." Danu dengan tubuh kecilnya membantu Damar duduk lalu memberi bantal dengan gambar peta Indonesia akibat tidak diberi sarung pada bagian punggung.

"Gak pa-pa, Dan. Mas bisa."

"Mas ini ngeyelan." Danu mulai sewot. Dia berkacak pinggang, berlagak seperti emak-emak. Ini kesempatan untuk mengomeli kakaknya. Kapan lagi?

"Sama kayak kamu 'kan?"

"Adik e kok." Danu menurunkan lengan dan kembali ke belakang, mengambil bubur.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam. Sejak jam empat Danu sudah berkutat di dapur. Apalagi semalam tak bisa tidur nyenyak, mendengar kegelisahan kakaknya yang setengah sadar akibat demam. Mau tak mau dia harus mengompres dengan air hangat tengah malam. Cukup lama hingga tertidur pulas, barulah menyusul tidur di samping dengan hati-hati agar tak menyenggol luka.

Diambil satu centong bubur dan menyicipi. "Hmm, enak." Lalu menaburi dengan bawang goreng buatannya yang sedikit gosong juga irisan tempe. Tak lama dia kembali ke kamar.

Damar yang melihat sepiring penuh piring langsung memberikan atensinya pada Danu. "Kok bubur?" Biasanya dia tak protes. Menerima apapun makanan.

"Kan Mas sakit, jadi makannya bubur." Danu mengangkat kursi setelah meletakkan piring di kasur akibat kepanasan.

"Ya, tapi 'kan Mas cuma lecet, Dan. Bukan masuk angin atau demam."

"Tetep saja sakit 'kan? Lagipula Mas selalu buat bubur kalau aku sakit, jadi sekarang juga harus makan bubur." Danu mulai menyendok buburnya.

"Jadi balas dendam ini?"

"Iyalah, aku 'kan maunya makan mi kuah yang hangat-hangat bukan bubur."

"Kenapa baru protes sekarang?"

"Ya, seharusnya Mas nawarin aku, mau makan apa? Bukan asal buat bubur."

Damar diam. Kalah lagi. Danu juga langsung menyuapi.

"Pahit, Dan."

"Lidah orang sakit itu memang pahit, Mas."

Damar tertawa kecil. Ah, mungkin alasan dia harus menerima kesialan kali ini agar bisa lebih dekat dengan adiknya. Mengingat hampir setiap hari kerja dan sedikit saja waktu yang diberikan. "Bawangnya gosong, Dan."

Danu terkekeh pelan. "Anggap obat, Mas."

"Gosong kok obat, jadi penyakit iya."

"Mas ki lo, ra enthuk nyacati panganan. Ra ilok."

Lalu suapan demi suapan berpindah ke mulut Damar yang memilih diam, tak melanjutkan perdebatan yang bisa sampai Maghrib. Begitu selesai, Danu bersiap sekolah.

"Mas di rumah sendiri gak pa-pa 'kan? Dan mau sekolah." Danu sudah siap dengan seragam SD-nya. Dan Damar sudah berpindah ke ruang tamu. Duduk di kursi kayu.

Pertanyaan Danu benar-benar ambigu. Seolah memperlihatkan kepedulian jika nanti terjadi sesuatu, tetapi juga seperti sindiran bagi Damar. "Iya, Mas masih bisa jalan, Dan."

Danu mendekat, mencium punggung tangan Damar dan berangkat. Meninggalkan dengan kesunyian.

Pandangan Damar menyisir genteng rumah yang penuh sarang laba-laba. Sudah berapa tahun dia tak membersihkan rumah? Ah, jika raganya bisa diajak kompromi mungkin sekarang waktu yang tepat. Sayang, untuk berpindah tempat saja rasanya susah. Nyeri.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang