10.

545 43 0
                                    

Damar beranjak bangkit setelah berulang kali menguasai keadaan. Pikirannya mendadak kosong setelah mengedarkan pandangan. Bahkan jalan kembali juga tak bisa diingatnya. Sial.

Walau berusaha tenang, bayangan ucapan ibunya terus saja menghantui pikiran. Lalu langkah mulai berpindah ke jalan cor beton. Terus berjalan, tetapi sekian lama hanya ada lorong-lorong asing.

Sebagai anak yang dikarunia ingatan kuat, sekarang hal itu tak lagi berarti karena dia telah tersesat. Ya, dia tak tahu sekarang di mana. Padahal saat ibunya mengajak, dia sudah berusaha menghafal jalan.

"Dan." Hanya kata itu yang keluar. Bagaimanapun dia harus pulang. Ada seseorang yang menunggunya sekarang. Namun, dia tak lagi kuat menyangga kehidupan yang begitu berat. Ah, seharusnya dia tak usah mencari ibunya. Biar saja berharap tanpa ada kepastian daripada menghadapi kenyataan yang menyakitkan.

Jongkok di pinggir jalan, pandangan Damar menatap nanar. Ingin menangis malu, tetapi tak kuat menahan apa yang dirasakan sekarang. Digigit bibirnya untuk mengalihkan rasa sakit yang semakin meremas hati. Hingga seseorang menepuk pundaknya. "Kenopo kowe, Le?" tanya seorang lelaki paruh baya yang memakai topi.

Damar menoleh karena kaget. Bisa-bisanya di saat ibunya tak peduli, justru orang lain masih memberi sedikit perhatian. Ah, bukan. Itu hanya iba. Namun setidaknya orang itu masih memiliki hati.

"Kulo kesasar, Pak." Damar bangkit dan menyeka keringat.

"Mau seko ndi?"

Ah, dia bahkan lupa nama toko yang didatangi Pak Wahyudin akibat syok dengan ucapan ibunya. Ingatannya seakan terpecah seperti hatinya sekarang.

Lelaki itu mengguncang bahu Damar seakan menyadarkan. "Kowe keno hipnotis apa pie?"

Perlahan ingatan Damar pulih lalu tergagap menjawab. "Toko bahan kue, Pak. Sing cerak ndalan mriko."

Bodohnya Damar. Bukankah semua toko sudah pasti dekat jalan raya? Dia benar-benar linglung sekarang.

"Toko Doni?" Lelaki kurus dengan pakaian yang juga memudar warnanya memastikan.

Damar mengangguk. Seketika ingatannya mulai tersusun. Ya, seingatnya nama toko memang berawalan huruf D, karena tertulis besar di papan depan.

"La kok tekan kene?"

"Mau cari toko alat tulis tadi, Pak."

"Oalah. Saiki meh nandi?"

"Balik ke toko kue mawon, Pak. Enten sedulur kulo. Lewat mana, ya?" Damar tak tahu apakah Pak Wahyudin keberatan jika memanggilnya sebagai saudara.

"Sini tak anter."

Lelaki itu menepuk jok motor matic yang terparkir sekitar dua meter dari tempat Damar berdiri, menyuruh naik.

Pandangan yang tadi tertuju pada lelaki yang menampakkan wajah letih beralih pada motor matic berwarna merah di hadapan. Melihat ketulusan yang ditunjukkan lelaki itu, Damar menerima niat baik, naik. Hanya beberapa belokan dan sudah tiba di toko kue tadi. Ah, ternyata tak jauh. Sefatal itu ucapan hanya untuk mengacaukan pikiran.

Damar turun lalu membungkukkan tubuh. Mengucapkan terima kasih berulang. Sebuah senyum menjadi jawaban, jika yang terjadi bukan masalah besar. Dia pun bernapas lega. Di kota yang dipikirnya tak ada kepedulian, ternyata masih tersisa. Sayang itu bukan ibunya.

Memutar tubuh, Pak Wahyudin yang sudah selesai bertransaksi mendekat. Di belakang, seorang karyawan toko membantu membawakan barang yang sudah dikemas. "Siapa tadi? Terus mana crayonnya?"

Pertanyaan Pak Wahyudin membuat Damar gelagapan. Lupa jika dia harus meyakinkan tujuan ke kota untuk membeli crayon Danu. "Kesasar tadi, Pak."

Lelaki itu memindai Damar dari atas ke bawah. Tak ada yang lecet seperti sebelumnya. Ah, seharusnya dia tahu. Meski sudah berumur 15 tahun, Damar tetaplah anak desa yang belum pernah ke kota. Sudah seharusnya mendampingi dan bukan sok-sokan memberi kepercayaan karena menganggap sudah dewasa. "Ayo tak terke nek ngunu."

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now