35

443 57 3
                                    

Damar terpaku sesaat melihat Pak Kasman sudah berada di depan rumah. Suaranya menggelegar seraya menunjuk Danu yang tak bisa berbuat apa-apa.

Melihat kedatangan Damar, Danu berlari mendekat, berlindung di balik punggung. Tangannya mencengkeram pergelangan dengan erat. "Mas, katanya itu orang yang punya tanah. Aku gak tahu harus bagaimana."

Tiga orang suruhan Pak Kasman keluar membawa kursi, kasur juga lemari milik Damar, meletakkan di depan rumah bersama barang lainnya. Tak ada yang berharga, hanya kenangan saja yang tersisa akan hangatnya dekapan keluarganya, dahulu.

Salah seorang warga meminta lelaki dengan kumis tipis itu bermusyawarah terlebih dahulu, alih-alih langsung mengusir Danu juga Damar. Setidaknya memberi tenggat waktu untuk menyiapkan segala sesuatunya. Bukan secara mendadak dan tanpa pemberitahuan sebelumnya.

"Ini tanah Bapakku. Suka-suka aku mau pakai kapan. Lagipula mereka -seraya menuding Danu dan Damar- sudah terlalu lama diberi kesempatan. Bukannya sadar diri malah nglunjak. Seenggaknya bayar sewa kok malah minta gratisan." Suara Pak Kasman menggelegar.

"Ya anggep sedekah, bocah kui 'kan yatim." Salah seorang warga yang merasa iba turut buka suara.

"Pow kowe ki ra mesak ke? Nek mbok usir meh arep nandi jal bocah kui?"

"Ra due ati. Wani ne ro cah cilik."

Damar melepaskan genggaman tangan Danu dan berjalan mendekati Pak Kasman. Dengan wajah mengiba dia berkata, "Saya akan bayar, Pak. Berapa saya harus bayar? Saya ada sedikit simpanan, kalau perlu saya akan menyicilnya, tapi--"

"Lima juta ada? Terhitung sejak bapakmu meninggal gak pernah bayar sewa. Kalau bukan karena kebaikan Bapakku sudah tak usir kalian sejak dulu. Jangan mentang-mentang kamu anak kecil, aku akan iba." Lelaki dengan postur tinggi tegap itu memotong ucapan Damar yang langsung melongo mendengar nominal yang disebutkan.

Melihat reaksi Damar, Pak Kasman sudah bisa menduganya. Sorotnya tak ada ampun sama sekali. "Lagian Ibumu nandi, ha? Cah cilik-cilik malah ditinggal lungo." Setelah mengatakan, dia meminta orang suruhan bekerja lebih cepat mengeluarkan barang-barang yang berada di dalam rumah. Dari arah dapur, panci, wajan dan beberapa peralatan masak dilempar begitu saja.

Beberapa warga tak bisa berbuat banyak, sementara Mbok Dharma mendekat dan memulai negoisasi dengan Pak Kasman. Terjadi perdebatan sengit di antara keduanya. Sedang Damar tak bisa berbuat apapun. Uang lima juta itu bukan nominal yang sedikit. Bahkan di tabungannya hanya ada uang seratus lima puluh ribu. Masih sangat jauh untuk bisa melunasi.

"Pak, saya akan usahakan menyicilnya." Damar kembali mengiba ketika Pak Kasman berjalan mendekati orang suruhannya. Dia berusaha menghalangi jalan dengan wajah memelas. "Kumohon, Pak."

"Gak usah. Aku wes males bolak balik. Aku mau dol lemah iki." Pak Kasman memegang lengan Damar agar tak menutupi jalan. Geram karena tak mengindahkan ucapannya, dia mendorong. Hampir saja Damar tersungkur, beruntung bisa menjaga keseimbangan.

Orang suruhan Pak Kasman melemparkan beberapa medali milik Danu juga Damar ke kasur yang diletakkan di atas meja. Beberapa gambar yang sudah dibingkai dengan plastik dihamburkan begitu saja, seolah bagi mereka hanya kertas biasa. Dari luar, Damar bisa melihat rumahnya sudah kosong tanpa perabotan.

"Wes hancurke wae." Pak Kasman berseru seraya berkacak pinggang.

Melihat beberapa orang suruhan yang bersiap merobohkan rumah yang memang sedikit condong, Damar berusaha menghalangi. Namun, lelaki lain menahan tubuhnya atas perintah Pak Kasman. Dia masih saja mengiba agar tuan tanah membatalkan niat.

Kesal karena dianggap mengganggu jalannya acara, tubuh kecil Damar didorong hingga jatuh terjerembab.

Berusaha bangkit, Damar terpaku, tak bisa berbuat apapun melihat rumah yang menyimpan segala cerita juga kehangatan, perlahan dihancurkan. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu dengan mudah dirusakkan. Setelahnya tiang penyangga mulai digoyangkan agar lekas roboh. Beberapa warga mulai mundur agar tak terkena pecahan genteng atau kayu yang mendadak terbang. Dan Danu mendekat, menggenggam tangan Damar seolah menguatkan.

Tak ada yang membela. Para warga hanya menyaksikan. Beberapa ibu-ibu berbisik membenarkan, ada pula yang menaruh iba akan nasib mereka selanjutnya. Bapak-bapak masih berusaha membujuk Pak Kasman. Walau tahu tak ada gunanya, setidaknya sudah menunjukkan kepedulian padanya. Siapa yang bisa melawan Pak Kasman? Anak salah satu orang yang disegani di desa. Mempunyai jabatan juga usaha di kota.

Di depan mata, Damar menyaksikan kehancuran rumah yang selama ini menaungi dan memberi sedikit kehangatan. Perlahan bangunan setinggi tiga meter mulai condong. Tak lama suara yang begitu keras terdengar, pertanda rumahnya telah rata dengan tanah. Gentengnya sudah hancur begitu pula dengan kenangan yang ikut porak poranda. Hangat canda tawa juga air mata yang pernah ada kini berceceran entah ke mana.

Damar syok. Saking syoknya, dia tak tahu harus berbuat apa. Jiwanya seakan tercerabut dengan paksa. Tak ada air mata yang keluar. Raga juga sudah tak memiliki daya, seolah ikut tumbang bersamaan dengan rumahnya.

Danu mengguncang tubuh Damar, seolah mengembalikan ke kenyataan. Berulang kali memanggil agar tersadar. Melihat tak ada respon yang ditunjukkan, dia mendekap penuh ketakutan. Ya, dia jauh lebih takut melihat kakaknya dalam kondisi yang jauh lebih menyedihkan seperti sekarang.

"Gak pa-pa, Mas. Nanti kita bisa tidur di masjid. Atau kita buat rumah dari blarak. Tenang saja, gak usah takut." Danu berusaha menenangkan walau air mata sudah menggenang di pelupuk mata. "Aku gak masalah kok, Mas. Tenang saja." Walau wajahnya menyiratkan kepanikan juga kesedihan, tetapi kata-kata yang keluar justru berbeda.

Pak Kasman mendekati Danu dan Damar, memaksa ikut bersama, membawa ke hadapan warga seakan tengah dipertontonkan.

"Mas," panggil Danu menyadarkan Damar yang masih belum sadar seutuhnya.

"Kalian ini sebagai warga negara yang baik." Pak Kasman menuding tetangganya dengan geram. "Apa kalian gak kasihan sama anak ini. Dia itu seharusnya masih sekolah, bukan kerja. Kenapa kalian gak bawa ke dinas sosial atau panti asuhan biar diurusi sama negara? Atau membawa ke rumah saudaranya. Malah memanfaatkan tenaganya untuk kerja?"

Para warga saling berbisik-bisik. Dan Damar langsung tersadar mendengar kata panti asuhan dan dinas sosial. Dia mendongak ke arah Pak Kasman.

"Kalau kalian gak mau ngurus, biar tak urus." Pak Kasman mendelik dengan wajah garangnya lantas membawa mereka berdua, membelah kerumunan warga.

"Jangan, Pak. Kumohon. Jangan pisahkan aku dengan Adikku. Biar kami pergi. Kami akan cari kost, tapi tolong jangan bawa kami ke dinas atau panti asuhan." Damar mengiba. Terbayang dalam benak, stigma panti asuhan dan dinas sosial. Mungkin untuk sementara, dia dan Danu bisa bersama, tetapi siapa yang tahu jika ada yang mengangkat anak seperti dalam film-film. Beruntung bila bersama, bagaimana jika takdir harus berpisah? Dia tak mau hal itu terjadi. Walau Danu menjengkelkan juga terkadang nakal. Dia sudah berjanji akan menjaga dan selalu bersama. Akan menyayangi satu sama lainnya.

Pak Kasman menyeret Damar yang terus mengiba sekaligus memberontak, hendak melepaskan genggaman yang mencengkram erat, hingga Mbok Dharma mencegat. Sedang Danu hanya bisa mengikuti langkah seraya memanggil kakaknya berulang.

"Anak iki urusanku. aku sing tanggung jawab. Rasah melu-melu." Mbok Dharma langsung memasang badan untuk Damar dan melepaskan tangan Pak Kasman. "Urusanmu muk lemah."

Pak Kasman geleng-geleng kepala melihat kenekatan Mbok Dharma. "Ok, gak masalah Mbok. Aku emang ra ana urusan ne juga ro bocah kui. Monggo, monggo." Bagaimana pun sekarang dia berhadapan dengan orang yang jauh lebih tua. Lantas dia melepaskan genggaman dan mengangkat tangannya, seolah mengaku kalah.

Damar langsung memeluk Danu yang berusaha tak menampakkan kesedihan juga rasa panik. Lalu tubuh yang sudah tak berdaya kembali merosot ke tanah. "Maafin Mas, Dan."

Ya, kali ini dia merasa tak berguna. Tak bisa menjadi kakak yang diharapkan. Yang seharusnya bertanggung jawab untuk adiknya. Yang memberi perlindungan juga kebahagiaan.

Dia mendekap Danu dengan erat. Sekujur tubuhnya didera ketakutan teramat sangat. Baginya berpisah dengan Danu jauh lebih mengerikan daripada ditinggal ibunya.

"Bu, kumohon pulang. Kami butuh Ibu." Permintaan lirihnya terbang bersamaan dengan embusan angin sore. Melambung bersama asa yang sudah lama berceceran. Lalu sesak yang memenuhi dada pecah, bersamaan dengan air mata meleleh di wajah. Dia putus asa. Dia merasa gagal, kalah melawan dunia.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now