ekstra.new home

473 47 0
                                    

Damar memperhatikan Danu yang tersenyum penuh bahagia, melihat sepeda baru yang dibelikan Arga. Sebagai hadiah atas kerja keras karena nilai semester memang meningkat pesat, juga beberapa kemenangan untuk lomba menggambar. Tak ada yang menyangka, Arga mengetahui jika adiknya tak sebebas sebelumnya.

Setelah memilih bentuk juga warna, diputuskan Danu mengambil warna hitam dengan tulisan merah. Tak terungkapkan betapa senangnya saat Arga membayar dan sepeda yang diinginkan kini sudah ada di hadapannya.

"Makasih, Om. Aku suka banget." Danu memberi pelukan entah ke berapa kalinya. Dia seakan tak percaya dengan penglihatannya bahwa sekarang sudah mempunyai sepeda, mirip seperti temannya dulu. Ah, bahkan lebih bagus.

Damar tersenyum kecut melihat kebahagiaan adiknya. Padahal dulu dia berjanji yang akan membelikan, tetapi kenyataan justru Arga yang mengabulkan. Ah, dia iri. Kenapa bukan dia yang memberi kebahagiaan? Kenapa justru orang lain?

"Ayo kita ke lapangan," ajak Arga yang diikuti dengan anggukan dari Damar.

Mereka berjalan di belakang, mengawasi Danu yang kegirangan. Memacu sepeda lalu berputar kembali dengan senyum lebar.

"Danu senang sekali." Arga tak bisa berhenti tersenyum melihat ekspresi bahagia di wajah Danu.

"Iya, dia sudah menginginkan sepeda sejak lama."

"Dan kamu sudah mengabulkannya."

Damar seketika menoleh, tak paham. Sudah jelas Arga yang mengabulkannya. Kenapa justru mengatakan dirinya? "Sepertinya bukan seperti itu kenyataannya."

Arga menepuk bahu Damar yang tingginya sudah hampir menyamainya. "Saat kamu mengizinkanku masuk ke kehidupan kalian, itu berarti kamu sudah mengabulkan keinginan Danu. Termasuk sekolah juga sepeda itu."

Damar dibuat tercengang. Kenapa ucapan Arga mengatakan seolah dialah yang berjasa dengan mengizinkan Arga masuk di kehidupan mereka? Bukankah seharusnya dia yang berterima kasih karena sudah memberinya kehidupan yang jauh lebih baik? Dia tak habis pikir. Apakah memang benar jika orang yang kesepian akan sangat menghargai kehadiran seseorang? Termasuk dirinya juga Danu. Entahlah. Dia tak paham.

Mereka berjalan beberapa ratus meter, hingga tiba di sebuah taman yang berada di lingkungan perumahan. Lumayan luas dan terawat. Pohon tabebuya juga asem yang tinggi menjulang memberi kesejukan juga menghalau sinar matahari. Ada lapangan basket juga taman yang biasa dijadikan tempat nongkrong di pojok lapangan. Beberapa tempat duduk  yang terbuat dari kayu sengaja disediakan. Tak lupa bak sampah.

Danu berputar-putar mengitari taman. Tak ada kata lelah saat bahagia. Sesekali dia melambai dan berteriak begitu melewati tempat duduk Damar juga Arga. Beruntung hari belum terlalu panas, masih jam sembilan. Suasana perumahan juga tak terlalu ramai walau libur sekolah. Hanya beberapa anak yang berada di taman, itu pun didampingi orang tua. Ada yang tengah mengajari sepeda, sepatu roda atau hanya jalan-jalan menikmati suasana.

"Om pulang yuk. Haus."

Seketika Arga tersadar, tak membawa air putih. Mau tak mau mereka harus kembali ke rumah. Namun, kali ini Danu tak menaiki sepedanya. Dia hanya menuntun seraya bercengkerama dengan Arga atau Damar. Senyum yang dibawa seolah menular pada mereka mendengar cerita yang entah mengapa selalu mengundang gelak tawa.

"Oiya, kenapa kamu juga gak belajar naik mobil, Mar? Bukankah umurmu sudah mendekati tujuh belas?"

Damar menelan ludah mendengar tantangan Arga. Mobil? Ah, itu terlalu beresiko.

"Wah, ide bagus Om. Masku kan pinter, pasti bisa."

Seketika Danu mendapat pelototan maut dari Damar. Bukannya dia tak mau, hanya saja dia terlalu takut jika sampai merusakkan mobil Arga. Karena setahunya, itu adalah mobil peninggalan mendiang ibunya. Sudah pasti sangat berarti.

My Beloved Brother (Danu dan Damar)  Spin Off Arga ; Repihan RasaWhere stories live. Discover now