Tumbuh Kembangnya Sempurna

11.8K 1.7K 97
                                    

Nungguin ya?

Sudah siap?

==

Wajah dokter di depan kami sepertinya siap mencabik-cabik. Kelihatan sekali kalau dia tengah kesal. Rencananya mempermalukanku tak jadi nyata, dia malah ditampar kenyataan gara-gara cerocosan pemberontak di sebelahku.

Dokter itu kemudian berdiri tanpa peringatan. Membuatku was-was. Alarm pertanda buruk berdering di kepalaku. Khawatir kalau ada baku hantam di sini. Aku tak sudi mengganti rugi semua kerusakan yang ditimbulkan dua laki-laki yang bahkan tak memberi sumbangsih dalam kehidupanku. Perkara kalau sampai viral, aku sudah pernah melaluinya dan ternyata tidak terlalu buruk. Aku tidak pelit. Lebih baik uang ganti rugi itu disumbangkan ke badan amal untuk menolong korban bencana alam atau anak-anak terlantar.

"Alvarendra!" panggil sang dokter pada pria yang sekarang ini terus melihatku dengan binar mata antusias.

Alva mengalihkan matanya dari wajahku. Dia mendongak pada dokter yang sekarang ini menunjuknya lurus. Kemudian bangkit, meninggalkan kursi.

Sejak kapan dia jadi setinggi ini?

Pertanyaan yang langsung memenuhi kepalaku saat melihatnya menjulang tinggi. Leherku sampai sakit karena mendongak.

"Apa lagi?" tanya Alva. "Mau ngajakin berantem?" Bocah pemberontak itu membuka lebar telapak tangannya. Meneleng sambil memerhatikan telapak tangannya yang selebar tutup galon cat 25 kilogram. "Tangan ini pernah melakukan jump serve secepat 113 kilometer per jam. Masih yakin mau berantem?"

Kekesalan di wajah dokter itu telah menghilang pergi saat Alva bangkit dari duduknya tadi. Aku tadi sempat melirik sang dokter yang nyalinya langsung ciut begitu benar-benar berhadapan dengan Alva dalam jarak dekat. Tinggi badan Alva yang seperti raksasa jelas membuat lawannya berpikir ulang untuk mengajaknya baku hantam satu lawan satu.

Dokter itu kemudian mendenguskan ejekan. "Selamat berpacaran," katanya sedetik kemudian. Sebelum memutuskan untuk cepat-cepat minggat dari hadapan kami.

Alva kembali melihat padaku. Dia mengulurkan tangannya sambil tersenyum lebar, "Ayo kita pacaran."

Aku tak menyambut uluran tangannya. Bangkit meninggalkan kursi agar bisa segera pergi dari tempat ini, melangkah cepat-cepat. Meninggalkan restoran sekaligus meninggalkan Alva yang memang tak perlu diladeni. Baru beberapa langkah meninggalkan meja makan, seseorang mencegahku pergi. Bukan Alva melainkan salah satu waiter restoran.

"Maaf, Kak. Bill-nya belum dibayar."

Alva berdiri tak jauh di belakang waiter saat tubuhku berbalik. Dia menyengir geli sementara perasaanku bercampur antara bingung dan kaget. Dua detik kemudian, aku mengeluarkan dompet namun Alva mencegah.

"Biar aku yang bayar," cegah Alva. Dia mengambil tagihan makan malam yang dipegang pegawai restoran.

Aku buru-buru mengambil lembar tagihan itu dari tangan Alva. "Nggak usah."

Selagi membuka dompet untuk mengeluarkan uang, Alva mengambil bill sekaligus dompetku. "Let, kamu masih lihat aku sebagai Alva yang sama seperti empat belas tahun lalu?"

Aku belum menjawab tanya Alva ketika Fayra muncul. Tergopoh-gopoh dan pucat dalam waktu bersamaan. Ia akan melakukan ritual khususnya—menerjunkan lututnya ke lantai, berlutut memohon—namun aku segera menariknya keluar dari restoran sebelum dia membuat malu dengan menggelosor ke lantai.

==

"Aku nggak tahu kalau dia ada niat jahat, Kak Letta!" dia sudah bersimpuh di lantai basemen hotel. "Jadi temen aku punya temen. Nah temennya temen aku itu punya senior. Si senior ini punya temen segeng. Salah satu temen segengnya ya si dokter ini."

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSWhere stories live. Discover now