The Second Floor (2)

6.8K 1.2K 39
                                    

Baru tiga hari berjalan sejak kepindahan Alva di seberang ruko, tetapi tiap pulang ke rumah aku merasa seluruh energi lenyap. Bahkan beraktivitas sendirian di dalam rumah tak membuat energiku terisi penuh. Jadi hari ini aku memutuskan untuk bertemu Fayra. Menceritakan keluh kesahku.

Dia satu-satunya tempatku mengadu sekarang. Teman-teman yang dulu kupercaya menjauh karena kejadian viral tiga tahun lalu. Curhat pada Mama sama saja seperti curhat pada media, dia mengorek lebih dalam tanpa peduli sakitnya. Aku juga tak suka bercerita pada teman sekerja. Hanya Fayra yang sudi mendengar ocehanku.

"Udah pesen makan?"

"Udah dong." Fayra terlihat gembira dan aku langsung tahu dia memesan makanan sebanyak keinginannya.

Kami janjian bertemu di salah satu restoran favoritku. Tempatnya masuk ke gang. Selain makanannya yang enak tempat ini juga tak terlalu ramai. Sudut-sudut ruangannya seakan sengaja dibuat untuk para introvert yang suka sendirian. Lampu temaramnya sangat cocok dengan jendela-jendela yang terbuat dari kaca reflektif.

"Kamu mau makan apa, Kak?" tanya Fayra saat aku duduk di hadapannya.

Aku menggeleng, "Kopi aja."

"Kak Letta udah kebanyakan minum kopi di tempat kerja. Makan yang mengenyangkan, minum yang enak, biar tidurnya lelap." Dia kemudian membuka buku menu yang sepertinya tak boleh diangkut oleh karyawan. "Aku pesenin ya. Nanti kalau nggak habis, aku yang habisin." Dia memesan menu kesukaannya—daging— satu porsi dan satu ginger milk hangat.

Begitu karyawan restoran meninggalkan tempat duduk kami, aku mengembuskan napas lelah.

"Kenapa? Kenapa?"

Punggungku bersandar ke kursi, dua tanganku memeluk tubuh sebelum menumpahkan keluhan. "Alva, Dek."

"Kesabaran Kak Letta udah habis?"

"Energiku yang habis. Diem di rumah semaleman nggak bikin energi terisi kayak biasanya."

"Alva memang susah diatur sejak dulu. Makin diatur makin susah dikendalikan. Kenapa nggak dikasih aja yang dia minta?"

"Aku pacaran sama Alva?"

Fayra mengangguk. Ketika dia akan bercerita, pesanan makanannya datang. Tanpa henti. Kurang dari lima menit semua makanan yang ia pesan memenuhi meja.

"Udah semua, Kak?" tanyaku.

"Masih ada pesanan tambahan yang tadi. Masih diproses. Sama ada eskrim. Nanti dihidangkan terakhir sesuai pesanan kakaknya," beritanya sambil melihat pada Fayra.

"Makasih, Kak." Fayra langsung mengakhiri pembicaraan. Matanya sudah melihat pada barisan menu di meja. Siap menggiling habis semuanya. Dia mendadak jadi multitalenta. Menyiapkan piring sambil mengomentari kelakuan Alva. "Lagian kalian lucu kalau sama-sama. Favoritku banget, cowok tinggi sama cewek mungil. Gemesin. Alva udah dewasa, udah punya penghasilan, seagama juga, tapi yang paling penting, dia cinta mati sama Kak Letta."

Aku diam selama beberapa saat. Hanya melihat Fayra yang menyantap makan malamnya. Berusaha menerima pernyataan demi pernyataan yang dilontar Fayra, tetapi kalau menilik ke belakang rasanya tabu.

"Kamu lupa sejarahnya, Dek?" tanyaku setelah Fayra menghabiskan menu pertamanya.

Dia membeku selama beberapa detik. Menatapku tanpa kata sebelum menjatuhkan bom pada hatiku. "Tapi Kak Letta, bukankah lebih baik dicintai daripada mencintai?"

Kini aku yang bungkam. Memakan menu yang barusan datang juga dalam diam sampai akhirnya Fayra bicara. Seolah-olah tahu isi kepalaku yang kacau. "Tapi ya, Alva itu memang agak gila sih."

THE REBEL WHO STOLE MY FIRST KISSDove le storie prendono vita. Scoprilo ora